JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Setidaknya ada 15 mantan narapidana (napi) kasus korupsi yang masuk daftar calon sementara (DCS) anggota DPR dan DPD RI. Pencalonan itu memang dibolehkan regulasi. Namun, KPU diminta sejumlah pihak untuk mengumumkan nama mereka ke publik.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan, semula pihaknya merilis 12 bacaleg dengan latar belakang status hukum sebagai mantan napi kasus korupsi. ’’Setelah itu, kami mendapat masukan dari masyarakat,’’ terangnya, Ahad (27/8).
Setelah dicek kembali, ada tiga nama lagi mantan terpidana korupsi yang mencalonkan diri sebagai anggota DPR dan DPD RI. Jadi, total ada 15 bacaleg. Tiga nama tambahan itu adalah Budi Antoni Aljufri (bacaleg Nasdem dari Dapil Sumatera Selatan II). Budi adalah mantan Bupati Empat Lawang, yang merupakan eks napi korupsi dalam perkara suap ketua Mahkamah Konstitusi (MK).
Ada juga Eep Hidayat, bacaleg Nasdem dari Dapil Jawa Barat IX, nomor urut 1. Eep adalah mantan Bupati Sumedang yang merupakan eks terpidana korupsi dalam perkara biaya pungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Kabupaten Subang. Berikutnya, Ismeth Abdullah, bacaleg DPD RI dari Dapil Kepulauan Riau, nomor urut 8. Ismeth merupakan mantan Gubernur Kepulauan Riau.
Kurnia mengatakan, sangat mungkin masih banyak mantan terpidana korupsi yang jadi bacaleg. Baik RI, provinsi, maupun kabupaten/kota. ’’Kami mendesak agar KPU segera mengumumkan kepada masyarakat terkait status hukum para bacaleg itu,’’ tegasnya.
Anggota Komisi II DPR Mardani Ali Sera menyatakan, KPU memang harus melaksanakan tugasnya sesuai aturan. Jika aturannya bacaleg mantan napi itu wajib diumumkan ke publik, maka KPU harus menjalankannya. ’’Pemilih perlu mendapat kejelasan tentang calon yang akan dipilih pada Pemilu 2024,’’ paparnya.
Wakil Ketua Umum PAN Viva Yoga Mauladi menjelaskan, Pasal 240 (1) huruf G UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyebutkan bahwa tidak ada larangan khusus bagi mantan napi kasus korupsi untuk mendaftar. Namun, mereka wajib secara jujur dan terbuka mengemukakan kepada publik.
Mantan napi yang tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasar putusan pengadilan dapat menjadi caleg. Dari sisi yuridis, hal itu sudah diatur dalam UU. Pasal 43 Ayat 1 dan 2 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) menyatakan, setiap warga negara berhak dipilih dan memilih dalam pemilu.
Namun, dari sisi etika, bisa jadi hal itu menyisakan masalah. Karena itu, sikap masyarakat terbelah. Ada yang pro dan kontra. Dengan demikian, semuanya bergantung pada masyarakat. Dia berharap para pemilih menggunakan hak pilihnya dengan cerdas dan benar.
’’Sehingga yang terpilih di Pemilu 2024 adalah caleg yang berkualitas, berintegritas, berkapasitas, dan menjadi jembatan aspirasi rakyat yang memperjuangkan kepentingan rakyat,’’ ujar Viva.
Kampanye di Lembaga Pendidikan Berdampak Buruk
Sementara itu, Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengizinkan kampanye di lingkungan pendidikan menuai beragam respons. Tidak sedikit yang keberatan dengan keputusan itu. Pasalnya bisa berdampak buruk terhadap dinamika politik. Selain itu bisa memperuncing tensi politik di internal lembaga pendidikan, khususnya perguruan tinggi atau kampus.
Di antara yang menyorot kebijakan itu adalah PP Muhammadiyah. Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan, keputusan MK yang memperbolehkan kampus untuk kampanye akan berdampak buruk terhadap dinamika politik.
Selain itu, kampanye di kampus juga akan berdampak buruk terhadap kegiatan akademik di kampus. “Tarik menarik kepentingan politik di kampus akan semakin kuat,” terang Mu’ti kepada Jawa Pos (JPG), Ahad (27/8).
Guru Besar Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu mengatakan, walaupun diperbolehkan lembaga pendidikan Muhammadiyah akan sangat berhati-hati. “Bahkan mungkin tidak memberikan izin kampanye di kampus,” tegasnya.
Di bagian lain, Sekretaris Lembaga Pendidikan (LP) Ma’arif Nahdlatul Ulama (NU) Harianto Oghie mengatakan, keputusan MK tersebut bisa dilihat dari banyak sisi. Di antaranya dari sisi pendidikan politik. Dia mengatakan pendidikan politik di satuan pendidikan penting. ’’Tetapi dengan ketentuan semata-mata untuk kepentingan politik kebangsaan dan keindonesiaan,’’ katanya.
Menurutnya dengan ketentuan seperti itu, pendidikan politik di satuan pendidikan digunakan untuk penguatan nasionalisme kebangsaan. Tetapi untuk kegiatan politik praktis pemilu di lembaga pendidikan, dia mengatakan harus ada batas atau rambu-rambunya. Ketentuan ini sebaginya segera diatur dan disosialisasikan oleh penyelenggara pemilu.
’’Misalnya, segala macam atribut politik atau alat peraga kampanye di lingkungan satuan pendidikan wajib dilarang,’’ tuturnya. Harianto menegaskan lembaga pendidikan tetap harus diposisikan sebagai lembaga yang sacral. Yaitu untuk mencapai kemajuan dalam kehidupan dan peradaban umat manusia.
Kampanye di lembaga pendidikan juga mendapatkan respons dari Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Dari sisi usia siswa dan hak mencoblos, kampanye di lembaga pendidikan bisa dipetakan hanya untuk jenjang SMA sederajat dan perguruan tinggi.
Ma’ruf mengatakan untuk di jenjang sekolah atau SMA, difokuskan atau ditekankan pada pendidikan politik. Bukan pada debat kandidat atau sejenisnya. Sedangkan untuk jenjang perguruan tinggi, kegiatan kampanye dapat dilakuan lewat kegiatan debat terbuka. ’’Pun harus diatur ya,’’ katanya di sela kunjungan kerja di Cirebon pada Sabtu (26/8).
Ma’ruf mengatakan bentuk pengaturannya bisa berupa tidak membawa atribut. Kemudian jika konteksnya kampanye calon presiden, semua kandidat harus dihadirkan. Dengan demikian mimbar kampanye atau debat di perguruan tinggi berjalan dengan adil.
Ma’ruf mewanti-wanti lampu hijau kampanye di kampus jangan sampai memicu terjadinya polarisasi, pembelahan, atau kubu-kubuan di lingkungan civitas kampus. Untuk itu Ma’ruf menekankan aturan kampanye di kampus atau lembaga pendidikan harus dibuat sedetail mungkin. KPU harus membuat regulasi yang tepat. Sehingga bisa antisipasi munculnya konflik atau pembelahan civitas kampus.
Pada bagian lain, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian mendesak Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk membuat aturan turunan atas putusan MK mengenai dibolehkannya kampanye di satuan pendidikan.
Menurutnya, aturan turunan ini untuk mengantisipasi dampak yang mungkin ditimbulkan usai terselenggaranya kampanye di instansi pendidikan. Misal, konflik antar orang tua siswa lantaran beda pilihan.
Karenanya, dalam aturan turunannya nanti, KPI bisa mengatur secara detail mengenai kampanye apa yang dibolehkan. Terutama mengenai pengenalan caleg kepada para siswa. “Untuk pengenalan caleg diperbolehkan, tapi bagaimana atributisasinya bisa dibatasi,” ungkapnya.
Dorongan untuk membuat aturan turunan ini juga disampaikan Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda. Meski mendukung kampanye berupa pendidikan politik di lembaga pendidikan, Huda tetap meminta KPU membuat aturan detail mengenai hal ini.
Di level jenjang sekolah dasar dan menengah pun, Huda meminta agar kampanye yang dimaksut MK ini sifatnya lebih pada laboratorium awal politik gagasan. Bukan politik praktis. “Saya belum setuju kalau misalnya para politisi, para caleg, sekolah bikin mimbar seperti di kampus. Karena tingkat pemahamannya juga berbeda,” tegasnya.
Huda pun berpendapat, diizinkannya kampanye di lembaga pendidikan merupakan angin segar. Sebab, di masa orde baru ini, anak-anak muda justru jauh dari politik. Sehingga, pendidikan politik pun terhambat.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy pun sempat menyatakan keberatannya jika kampanye politik dilakukan di jenjang sekolah dasar dan menengah. Menurutnya, saat ini, mereka tengah disibukkan dengan upaya mengejar ketertinggalan akibat learning loss yang terjadi selama dua tahun pandemi Covid-19.
Apalagi, saat ini, pembelajaran di sekolah belum pulih sepenuhnya dari dampak Covid-19. “Saya imbau sebaiknya sekolah-sekolah maupun madrasah tidak usahlah dipakai tempat untuk berkampanye. Biarlah mereka guru-guru juga fokus mengantar peserta didiknya untuk menebus ketertinggalan akibat learning loss saat Covid-19,” tuturnya.
Dia menjelaskan, pemulihan pendidikan pasca pandemi berbeda dengan pemulihan ekonomi yang relatif mudah diukur dan dilihat targetnya. Karenanya, Mantan Mendikbud tersebut tak ingin sekolah dan madrasah yang masih memiliki tugas untuk mengejar ketertinggalan justru dipersulit dengan adanya kampanye-kampanye yang akan dilakukan di sana.
Belum lagi, imbuh dia, jumlah pemilih pemula di sekolah hanya sedikit. Lebih banyak jumlah yang belum punya hak pilih. “Jadi tak perlu repot-repot untuk datang atau mengundang kampanye untuk dilakukan di sekolah,” tegasnya.
Beda halnya dengan jenjang perguruan tinggi. Muhadjir mengaku tak mempersoalkannya. Selain tingkat kesadaran atas perbedaan di kampus sudah cukup tinggi, jumlah pemilih pemula juga lebih banyak ketimbang sekolah.
Namun, dia meminta, agar kondusivitas pelaksanaannya harus betul-betul dijaga. Sehingga tidak menimbulkan kondisi yang tidak baik di kampus. “Perguruan tinggi silakan karena konstituennya di situ. Tapi tadi itu dengan ketentuan-ketentuan yang betul-betul terukur,” ujarnya.
Anggota Komisi II DPR RI Aminurokhman menyambut baik putusan MK yang mengizinkan peserta pemilu berkampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan. Menurut Amin, kegiatan kampanye di sekolah dan kampus dapat menjadi pendidikan politik bagi pelajar dan mahasiswa.
Pada akhirnya, kata dia, para pemuda merupakan penerus tongkat estafet yang harus diberikan ruang pendidikan politik yang berlangsung secara baik. Politisi Fraksi Partai Nasdem itu mengatakan, generasi muda saat ini kurang mendapat pendidikan politik yang baik, sehingga kurang peduli dengan masalah di sekitarnya.
Menurutnya, daripada mereka mengetahui dari media sosial yang di-frame pihak tertentu, lebih baik mereka mendengar dan melihat langsung. “Kami akan atur agar tidak mengganggu aktivitas sekolah, karena selama ini sudah melakukan sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan,” tegasnya.
Legislator Dapil Jawa Timur II itu menyatakan, kegiatan kampanye di sekolah maupun di kampus harus sesuai aturan yang berlaku. Yang penting tidak boleh melakukan intimidasi, karena konteksnya proses pendidikan politik. Dan tidak boleh ada simbol partai masuk ke sekolah.
Pakar Komunikasi Politik sekaligus Staf Khusus Dewan Pengarah BPIP Romo Benny Susetyo menuturkan bahwa kampanye di tempat pendidikan itu sangat memerlukan kehati-hatian dan kebijaksanaan. Bila tidak ada rambu-ambu yang jelas dan aturan tegas justru berpotensi menimbulkan konflik antar mahasiswa dan siswa. ”Idealnya pendidikan politik diberikan oleh pihak yang independen dan netral,” paparnya.
Tanpa ada aturan yang jelas, kampanye di tempat pendidikan justru akan menghasilkan kegaduhan, bukannya menjadikan persatuan. Saat partai politik diperbolehkan kampanye di tempat pendidikan, semua aturan itu harus jelas. ”Siapa wasitnya, siapa yang menetralisir saat ada konflik kepentingan,” ujarnya.
Sebab, politik itu sebuah kepentingan. Maka, pasti menimbulkan konflik kepentingan. Menimbulkan haus kekuasaan. Salah satu rambu yang diperlukan adalah semua partai politik diperbolehkan masuk ke suatu kampus. ”Sehingga, kampus itu tidak cenderung ke satu golongan partai tertentu,” jelasnya.
Dia mengatakan, seharusnya kampus menjadi pendorong adu gagasan, adu wacana serta mendengarkan visi dan misi. Di luar itu, kampus harus mampu untuk menolak. ”Kita akan melihat kesiapan dunia pendidikan menjadi arena kampanye,” tegasnya.
Dengan itu, kampus juga harus melakukan edukasi politik kepada mahasiswa. Sehingga, muncul pemilih yang cerdas dan berintegritas. Kondisi itu memerlukan politic will dari kampus, yang kalau bisa mengendalikan partai politik. ”Agar politik tetal menjadi alat untuk kesejahteraan sosial. Politik bukan arena kampanye belaka,” tegasnya.
Sebelumnya, MK mengizinkan peserta pemilu berkampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan selama tidak menggunakan atribut kampanye. Hal itu termuat dalam Putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada Selasa (15/8).
Dalam perkara itu, pemohon Handrey Mantiri dan Ong Yenni, menilai ada inkonsistensi aturan terkait aturan dalam UU No. 7/2017 tentang Pemilu. Kampanye di lingkungan pendidikan tetap harus mendapatkan izin dari penanggung jawab tempat dimaksud. Kemudian hadir tanpa atribut kampanye pemilu.(lum/wan/mia/idr/tyo/c18/hud/das)
Laporan JPG, Jakarta