Jika bicara soal red notice, Boyamin menyatakan ada unsur kelalaian dari pihak Kejagung karena tidak segera memperbarui permintaan red notice per lima tahun. Namun, dia menggarisbawahi bahwa kasus Djoko ini perlu dibandingkan dengan kasus buronan lain. Yang baru-baru saja ramai adalah dipulangkannya Maria Pauline Lumowa, pelaku kasus pembobolan Bank BNI tahun 2003 silam. Boyamin mencatat bahwa tidak ada permintaan perpanjangan red notice untuk Maria. Namun, yang bersangkutan tetap ditangkap setelah 17 tahun buron.
"Banyak buron yang tidak diperpanjang namun tetap dicekal dan tidak diutak-atik oleh NCB, misal Eddy Tansil, Maria Pauline, dan lain-lain. Maria tidak pernah diperpanjang namun nyatanya tetap ditangkap polisi Serbia dan diserahkan ke Indonesia," lanjutnya.
Sementara Komisioner Kompolnas Poengky Indarti menuturkan bahwa kemungkinan adanya kurang koordinasi antara Kejagung dan Polri. Hal itu terlihat dari red notice yang tidak diajukan kembali setelah batas waktu lima tahun.
"Seharusnya pihak yang meminta menahan itulah yang mengajukan kembali. Bukan Interpol Indonesia," urainya.
Karena itu alangkah bijaknya bila semuanya melakukan interospeksi. Dari pada saling menyalahkan. Sehingga, tidak terulang lagi red notice yang kedaluarsa.
"Begitu seharusnya," paparnya.
Sementara itu, di internal DPR RI terjadi pro kontra terkait rencana rapat gabungan yang akan membahas kasus Djoko Tjandra. Ketua Komisi III Herman Herry mengatakan, komisinya belum mendapat kepastian soal rencana rapat gabungan dengan aparat penegak hokum. Yaitu Kabareskrim, Jampidum, dan Dirjen Imigrasi untuk membahas kasus besar itu. Sebab, surat izin rapat gabungan masih tertahan di meja Wakil Ketua DPR bidang Korpolkam Azis Syamsuddin.
Herman menyatakan, surat izin untuk menggelar rapat dengar pendapat (RDP) pengawasan terhadap mitra kerja telah dikirim ke pimpinan DPR sejak Rabu (15/7) lalu. Menurutnya, surat izin untuk menggelar RDP saat masa reses dilayangkan setelah Komisi III menerima dokumen berupa surat jalan buronan Djoko Tjandra dari Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) pada Selasa (14/7). Komisi III menganggap kasus itu bersifat super urgent.
"Sehingga berdasarkan mekanisme Tatib DPR, kami harus meminta izin kepada pimpinan DPR," terangnya. Namun, lanjut Herman, sampai saat ini surat tersebut tidak ditandatangani oleh Azis Syamsuddin. Padahal, Ketua DPR Puan Maharani sesungguhnya telah mengizinkan dan menyetujui RDP yang rencananya digelar pada Selasa (21/7) mendatang.
Setelah memberikan izin dan menyetujui rencana RDP, Puan mendisposisi izin tersebut kepada wakil DPR bidang Korpolkam yang dijabat Azis. Menurut Informasi terakhir dari sekretariat, surat tersebut tidak ditandatangai oleh Azis, karena ada putusan Badan Musyawarah (Bamus) DPR yang melarang RDP Pengawasan oleh komisi pada masa reses. "Sampai saat ini saya juga masih menunggu untuk melihat salinan putusan bamus tersebut," jelas politikus PDIP itu.
Herman menegaskan, Komisi III tetap berkomitmen untuk terus mengawasi aparat penegak hukum dalam penuntasan kasus buronan Djoko Tjandra. Ia memastikan, pihaknya tidak akan menunda-nunda pelaksanaan RDP. Sejak awal Komisi III selalu berkomitmen mendukung kerja-kerja aparat penegak hukum yang profesional dan berintegritas.
"Maka dari itu, sejak awal Komisi III selalu concern terhadap kasus Djoko Tjandra ini," tegasnya,
Azis Syamsuddin mengatakan, sesuai tatib dan keputusan bamus, dalam masa reses tidak diperbolehkan dilakukan rapat pengawasan. Dalam Pasal angka 13 disebutkan bahwa reses adalah masa DPR melakukan kegiatan di luar masa sidang, terutama di luar gedung DPR untuk melaksanakan kunjungan kerja.
Sedangkan, Pasal 52 ayat (5) dijelaskan, dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf e, Badan Musyawarah dapat: a. menentukan jangka waktu penanganan suatu rancangan undang-undang, b. memperpanjang waktu penanganan suatu rancangan undang-undang, c. mengalihkan penugasan kepada alat kelengkapan DPR lainnya apabila penanganan rancangan undang-undang tidak dapat diselesaikan setelah perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, atau d.menghentikan penugasan dan menyerahkan penyelesaian masalah kepada rapat paripurna DPR. "Kami mengacu pada tatib dan keputusan bamus," terangnya saat dihubungi JPG kemarin.(idr/deb/lum/jpg)