AJI: Stop Teror dan Kriminalisasi Jurnalis

Nasional | Jumat, 27 September 2019 - 17:55 WIB

AJI: Stop Teror dan Kriminalisasi Jurnalis
Dandhy Dwi Laksono (empat kiri) usai konferensi pers di Sekretariat AJI Indonesia, Jakarta, Jumat (27/9/2019). (AJI INDONESIA FOR RIAUPOS.CO)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Polda Jaya Metro Jaya menangkap Dandhy Dwi Laksono, sutradara film dokumenter sekaligus pengurus nasional Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Dandhy ditangkap di rumahnya di Pondokgede, Bekasi pada Kamis, 26 September 2019.

Berdasarkan kronologis YLBHI, Dandhy pada mulanya tiba di rumah sekitar pukul 22.30 WIB. Selang 15 menit kemudian datang polisi menggedor-gedor rumah Dandy membawa surat penangkapan. Dandhy ditangkap karena cuitannya soal Papua yang diduga telah menimbulkan rasa kebencian, permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).


Dandhy kemudian dibawa tim yang terdiri 4 orang ke kantor Polda Metro Jaya dengan kendaraan D 216 CC mobil Fortuner sekitar pukul 23.05. Penangkapan tersebut disaksikan oleh dua satpam RT setempat. Dandhy kemudian dibebaskan sekitar pukul 3.45 WIB setelah menjalani pemeriksaan selama 5 jam. Kendati demikian, Dandhy ditetapkan sebagai tersangka pasal ujaran kebencian terhadap individu atau suatu kelompok, pasal 28 ayat 2 juncto pasal 45 A ayat 2 UU ITE.

Berselang sekitar satu jam, Polda Metro Jaya menangkap Ananda Badudu, anggota AJI Jakarta, pada pukul 04.25 WIB. Ananda diduga ditangkap atas keterlibatannya menggalang dana ke mahasiswa yang berdemonstrasi di depan Gedung DPR pada 23-24 September 2019. Ia kemudian dibawa ke kantor Resmob Polda Metro Jaya pada pukul 04.55 WIB.

Ananda akhirnya dibebaskan pada Jumat 27 September 2019 sekitar pukul 10.00 WIB setelah 5 jam menjalani pemeriksaan. AJI menilai penangkapan dan penetapan tersangka ujaran kebencian terhadap Dandhy adalah bentuk ancaman serius terhadap hak kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia yang telah dijamin oleh konstitusi.

"Pasal ujaran kebencian yang disangkakan terhadap Dandhy adalah salah satu pasal karet yang bermasalah dalam UU ITE. Pasal karet UU ITE sering dipakai untuk membungkam aktivis, jurnalis, dan warganet yang mengekspresikan pendapatnya melalui media sosial,'' ujar Sekretartis Jendral AJI Indonesia Revolusi Riza dalam rilisnya, Jumat (27/9/2019).

Revo, begitu dia akrab disapa, mengatakan, itu juga yang dialami oleh Ananda Badudu. Meski berstatus saksi, tapi penangkapan terhadap Ananda adalah tindakan sewenang-wenang dan menjadi teror bagi demokrasi.

''AJI menilai apa yang dilakukan oleh Ananda Badudu adalah tindakan solidaritas dan dukungan terhadap aksi mahasiswa yang sedang menyatakan pendapat di muka umum,'' ujarnya.

Atas kondisi itu, Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia Sasmito Madrim mengatakan, AJI Indonesia mendesak; pertama, Polda Metro Jaya mencabut status tersangka terhadap Dandhy Dwi Laksono dan membebaskannya dari segala tuntutan hukum.
Kedua, Polda Metro Jaya untuk menghentikan penangkapan sewenang-wenang seperti yang dilakukan terhadap Dandhy Dwi Laksono dan Ananda Badudu. Ketiga, Polda Metro Jaya meminta maaf dan merehabilitasi nama baik atas tuduhan yang disangkakan kepada Dandhy Laksono dan Ananda Badudu.

Keempat, Mendesak Presiden RI Joko Widodo untuk mereformasi Polri atas serangkaian kasus kekerasan terhadap jurnalis di Papua dan pada aksi unjuk rasa di berbagai kota pada 23-24 September 2019.

Sasmito mengatakan, hasil rekapitulasi AJI Indonesia dalam sepekan ini, tercatat 14 jurnalis menjadi korban kekerasan aparat dan kelompok massa, serta korban penangkapan dan kriminalisasi. Selain Dandhy dan Ananda yang menjadi korban penangkapan dan kriminalisasi, jurnalis korban kekerasan aparat antara lain tersebar di Jakarta, Makassar, Palu dan Jayapura.(rls)

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook