Sri Mulyani Beberkan Risiko Serius Pembengkakan Subsidi BBM

Nasional | Sabtu, 27 Agustus 2022 - 19:08 WIB

Sri Mulyani Beberkan Risiko Serius Pembengkakan Subsidi BBM
Menkeu Sri Mulyani Indrawati mengatakan jika pemerintah tidak menambah anggaran subsidi BBM maka akan menjadi beban anggaran di 2023. (RICARDO/JPNN.COM)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati membuka konsekuensi apabila kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) tidak dilakukan. Sebab, berdasarkan perhitungan Sri Mulyani, anggaran subsidi tahun ini harus ditambah Rp195,6 triliun dari total subsidi sebesar Rp502 triliun.

"Total anggaran subsidi dan kompensasi tahun ini bisa tembus hingga Rp698 triliun," ujar Sri Mulyani dalam Konferensi Pers Tindak Lanjut Hasil Rakor Kemenko Perekonomian terkait Kebijakan Subsidi BBM, Jumat (26/8).


Eks Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menyebut jika Rp195,6 triliun tidak disediakan pada tahun ini, maka ditagih pada APBN 2023. Pasalnya, di tahun depan pemerintah sedang berusaha menyehatkan APBN dan mengembalikan defisit untuk kembali ke tiga persen dari PDB. Artinya, anggaran subsidi yang ditargetkan Rp336,3 triliun di 2023 akan hilang separuhnya hanya untuk membayar tagihan tahun ini.

"Rp195,6 triliun itu memakan lebih dari separuh anggaran subsidi dan kompensasi tahun depan yang kita anggarkan Rp336,3 triliun. Pasti anggaran subsidi di 2023 akan tidak cukup, dan menimbulkan persoalan sama lagi," kata Sri Mulyani.

Oleh karena itu, Sri Mulyani khawatir jika tidak ada penyesuaian harga BBM dan tambahan anggaran subsidi dan kompensasi BBM di tahun ini, akan menimbulkan efek buruk ke depannya.

Lebih lanjut, Sri Mulyani memperhitungkan tambahan penerimaan negara dalam Perpres 98/2022 sebesar Rp420 triliun pada tahun ini hanya digunakan untuk menambah anggaran subsidi energi saja.

"Penerimaan negara Rp420 triliun akan dipakai semua untuk subsidi energi, Pertalite, Solar, LPG 3 kilogram, dan listrik. Itu tidak akan mencukupi seluruh windfall profit karena dipakai semua dan akan habis," ungkapnya.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, volume penjualan Pertalite sudah mencapai 16,4 juta kiloliter dari kuota yang ditentukan pada tahun ini mencapai 23 juta, sehingga secara hitung-hitungan stok Pertalite tersisa tinggal 6,6 juta kiloliter. Selanjutnya, kuota Solar yang alokasikan volume kuotanya mencapai 15,1 juta kiloliter hingga Juli 2022 volume konsumsinya sudah terpakai 9,88 juta kiloliter dan kemungkinan besar stoknya akan habis pada Oktober 2022.

Kemudian, rata-rata konsumsi Pertalite dan Solar sekitar 2,4 juta-2,5 juta kiloliter per bulan. Dengan demikian, total kuota Solar yang dibutuhkan mencapai 17,44 juta kiloliter dan Pertalite 29,07 juta kiloliter sampai akhir 2022.

Sumber: Jpnn.com
Editor: Rinaldi

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook