JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Indonesia kehilangan salah satu tokoh budaya. Ahad (25/12), budayawan betawi yang juga mantan politisi Partai Persatuan Pembangunan Ridwan Saidi meninggal dunia di usia 80 tahun.
Ridwan meninggal saat menjalani pengobatan di Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI) Bintaro pukul 08.35 WIB. Usai disemayamkan di kediaman, dia lantas dikebumikan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Karet Bivak Jakarta Selatan.
Anak ketiga almarhum, Rifat Najmi mengatakan ayahnya meninggal karena pendarahan di batang otak. “Kami menemukan beliau dalam keadaan koma di Jumat (23/12) pagi hari dan langsung dilarikan ke rumah sakit,” ujarnya dikonfirmasi, Ahad (25/12).
Sayangnya, nyawanya sudah tak tertolong. Mewakili keluarga, pihaknya meminta doa dari masyarakat. “Kami meminta dibukakan pintu maafnya atas kekhilafan beliau selama hidup dan mohon diikhlaskan,” tuturnya.
Sementara itu, kepergian Saidi menaruh kesedihan dalam bagi sejumlah tokoh. Salah satunya anggota DPR RI yang juga politisi senior Partai Gerindra Fadli Zon. Semasa hidup, almarhum merupakan salah seorang tokoh yang banyak bersamanya. “Saya kenal lebih dari 30 tahun lalu,” ujarnya.
Di mata Fadli, Saidi merupakan sosok yang lengkap. Selain sastrawan dan budayawan, almarhum juga politisi kawakan, pemikir, hingga penulis, sastrawan, hingga budayawan. “Saya merasa kehilangan tokoh hebat ini. Seorang teman diskusi yang luar biasa, wawasan dan pengalamannya luas,” tegasnya.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mohammad Mahfud MD mengenang Ridwan Saidi sebagai budayawan yang kritis. Namun, tidak sekadar kritis. Mahfud menilai bahwa Ridwan Saidi kerap melontarkan kritik dengan argumentasi yang berbasis data. ”Pertengahan 1980-an Bang Ridwan sangat menginspirasi para aktivis,” cuit Mahfud di akun twitter-nya, kemarin.
Sebagai menteri dan mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang juga pernah menjadi aktivis, pejabat asal Madura itu mengakui bahwa Ridwan Saidi ketika duduk sebagai wakil rakyat di DPR termasuk vokal. Bahkan tidak ragu mengkritik pemerintah yang kala itu berada di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. ”Sangat vokal, berani mengkritik keras pemerintahan Soeharto dan Golkar,” kenangnya.
Terpisah, Rektor Universitas Paramadina Didik J Rachbini memandang sosok Ridwan Saidi sebagai seorang yang telah malang melintang di kancah politik. Didik mengenal Ridwan saat masih menjadi aktivis HMI. “Orangnya egaliter, gaya bicaranya berintonasi kuat, tetapi sangat humoris,” ujarnya kepada Jawa Pos (JPG), Ahad (25/12).
Didik melanjutkan, di jagat politik nasional, Ridwan kerap memberikan kritik. Meski begitu, kritik-kritik yang dilontarkan tak asal dan sarat makna. “Memberikan pelajaran bahwa dalam demokrasi harus ada suara lain yang berbeda dan mungkin bisa menjadi alternatif. Simbol kritik yang menggema secara nasional itu ada pada figur Ridwan Saidi,” ujarnya.
Didik menyebut Ridwan sebagai aktivis HMI lulusan Universitas Indonesia yang ditempa sejarah aktivisme sangat panjang bersamaan dengan perubahan besar di negeri ini. Mulai dari Orde Lama, Rovolusi Kudeta PKI dan Orde Baru, masa transisi sulit kejatuhan Orde Baru, sampai masa demokrasi bebas sekarang ini.
“Menurut saya figur seperti Ridwan Saidi diperlukan untuk menjaga demokrasi agar tidak tergelincir mengarah ke otoriter,” katanya.
Meskipun selalu kritis, Didik memandang Ridwan juga bisa memuji pemerintah, dalam hal ini Jokowi sebagai Gubernur DKI.
Ridwan mengapresiasi Jokowi yang memiliki kepedulian untuk membangun Perkampungan Budaya Betawi di Setu Babakan, Jagakarsa, Jakarta Selatan.(far/syn/dee/jpg)