Dia menjelaskan pada masa transasi, bisa jadi masih ada praktik registrasi nomor ponsel secara massal. Qutni mengatakan angka 2,2 juta nomor ponsel itu sejatinya tidak bisa disebut besar. Sebab dia mengatakan dalam satu tahun, nomor ponsel yang beredar dan dijual dari seluruh operator mencapai 500 juta nomor perdana.
Qutni mengatakan sejak tiga tahun terakhir terjadi pergeseran pola penggunaan nomor ponsel. Dia mengatakan pada saat ini pelanggan lebih memilih membeli nomor perdana untuk dinikmati benefit kuota internetnya. Setelah itu nomor dibuang dan membeli nomor baru lagi.
’’Siapapun yang meregistrasi, yang penting bisa dipertanggungjawabkan. Kecuali bahasanya 2,2 juta nomor itu teridentifikasi melakukan penipuan. Itu lain cerita,’’ katanya.
Dia menegaskan adanya registrasi jutaan nomor dengan satu NIK itu belum tentu mengaarah ke kejahatan.
’’Kenapa pada ribut.’’
Namun dia mengatakan aparat kepolisian tidak boleh menutup mata terkait praktik penyelewangan penggunaan data NIK. Misalnya kasus warga Gresik yang nomornya digunakan untuk registrasi 1,6 juta nomor, dia mempersilakan polisi mengusutnya. Bahkan dia menyebut polisi harus segera menindaklanjuti untuk menggali alasan kenapa melakukan registrasi menggunakan nomor NIK orang lain.
Vice President Corporate Communications Telkomsel Adita Irawati menegaskan, dalam pelaksanaan registrasi prabayar, Telkomsel selalu berupaya mengikuti aturan dan ketentuan yang berlaku. Adita menceritakan, sejak awal November 2017, dengan adanya dinamika terkait aspirasi outlet, BRTI menerbitkan Surat Edaran yang memperbolehkan satu identitas milik outlet untuk registrasi lebih dari 3 (tiga) nomor perdana.
“Tapi dalam perkembangannya setelah kami lakukan evaluasi, Telkomsel berinisiatif menutup pendaftaran lebih dari 3 (tiga) nomor tersebut pada bulan Maret 2018,” ujarnya saat dikonfirmasi, Selasa (10/4).