Kaki Tangan Irjen Sambo Berpotensi Dipidana

Nasional | Jumat, 26 Agustus 2022 - 09:31 WIB

Kaki Tangan Irjen Sambo Berpotensi Dipidana
Layar televisi menampilkan proses berlangsungnya sidang tertutup Komisi Kode Etik Polri (KKEP) terhadap mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo di Gedung Transnational Crime Center Divisi Propam Mabes Polri, Jakarta, Kamis (25/8/2022). (FEDRIK TARIGAN/ JPG)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Nasib Irjen Pol Ferdy Sambo bak telur di ujung tanduk. Hampir pasti bukan hanya karirnya yang terjun bebas. Namun hidupnya juga dipertaruhkan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dalam kasus dugaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua, ajudannya sendiri.

Yang juga ironis, Sambo terjun bebas dengan membawa begitu banyak rekan kepolisiannya. Hingga saat ini sudah ada 97 anggota yang diperiksa terkait menghalang-halangi penyidikan dalam kasus penembakan Brigadir Yosua. Sebanyak 35 personel di antaranya diduga melanggar kode etik kepolisian.


Kini untuk nasib karir Irjen Sambo sebagai polisi akan ditentukan dalam Sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) yang digelar kemarin sejak pukul 09.30 WIB. Sambo datang jauh lebih awal sekitar pukul 07.30 WIB ke Ruang Sidang KKEP yang terletak di gedung TNCC Komplek Mabes Polri.

Tampak dia mengenakan seragam dengan tanda pangkat jenderal bintang dua dengan list yang tidak lagi merah. Tanda list atau garis merah itu merupakan tanda kewenangan, untuk komandan yang memiliki anak buah bidang operasional atau komandan yang memiliki wilayah.

Artinya, kini Sambo telah mengakui bahwa tak lagi memiliki kewenangan. Berbeda dengan seragamnya yang saat diperiksa Bareskrim beberapa waktu lalu. Kendati telah dinonaktifkan, namun Sambo masih berani memakai seragam bertanda kewenangan tersebut.

Sayangnya, dalam sidang KKEP tersebut, Korps Bhayangkara hanya menayangkan visual atau video jalannya sidang kode etik tersebut. Tanpa ada suara yang bisa didengar untuk mengetahui perkembangan sidang tersebut.

Setelah pukul 18.20 WIB dipastikan jumlah saksi yang diperiksa dalam sidang tersebut baru mencapai delapan orang. Yang pasti sudah diperiksa adalah dua ajudan Sambo yakni, Bharada E dan Bripka Ricky, serta Kuat Ma’ruf, asisten pribadi Sambo. "Sudah delapan orang saksi diperiksa," terang Kabagpenum Divhumas Polri Kombespol Nurul Azizah.

Sementara sekitar pukul 20.45 WIB, sebanyak 15 saksi telah selesai diperiksa dalam sidang kode etik tersebut. Nurul mengatakan bahwa setelah 15 saksi tersebut, akan diperiksa Irjen Sambo sebagai terperiksa dalam sidang tersebut. "Dilanjutkan ke Irjen FS," paparnya.

Kadivhumas Polri Irjen Dedi Prasetyo mengatakan, dalam sidang kode etik tersebut menghadirkan 15 saksi, di antaranya Brigjen Hendra Kurniawan, Brigjen Benny Ali, Kombespol Budhi Herdi Susianto, Kombespol Agus Nurpatria, dan Kombespol Susanto. "Mereka dihadirkan sebagai saksi," terangnya.

Dengan keterangan dari para saksi tersebut, juga akan didalami konstruksi hukum pelanggaran kode etik yang terjadi. "Mengetahui pelanggaran kode etiknya," paparnya.

Yang pasti, putusan sidang kode etik terhadap Sambo akan dikeluarkan di hari yang sama. Dedi mengatakan bahwa nantinya hasil sidang kode etik akan diumumkan sesuai dengan instruksi Kapolri. "Ditentukan hari ini," ujarnya.

Begitu sidang kode etik tersebut selesai, Polri akan segera mengumumkannya. "Keputusan sidang nanti bisa dilihat," terang mantan Karopenmas Divhumas Polri tersebut.

Setelah sidang kode etik tersebut, lanjutnya, penyidik dan Tim Khusus segera memproses tindakan pidananya berupa pembunuhan berencana. Diupayakan segera dilimpahkan ke Jaksa Penuntut Umum (JPU). "Saudari Putri Candrawathi juga akan diperiksa secepatnya," paparnya.

Setelahnya, secara paralel dengan sidang kode etik personel yang diduga terlibat obstruction of justice, juga dilakukan penanganan pidana obstruction of justice di Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipid Siber). "Paralel, fokus utama ke Irjen FS," urainya.

Sebelum sidang kode etik tersebut, beredar surat yang ditulis tangan oleh Irjen Ferdy Sambo. Dalam surat bermaterai dan ditandatangani Sambo itu, dia meminta maaf kepada senior dan rekan-rekan di Polri yang terdampak perbuatannya. "Saya meminta maaf ke senior dan rekan semua yang secara langsung merasakan akibatnya," ujarnya.

Sambo juga mengaku siap untuk bertanggung jawab dan menanggung semua akibat hukum yang dilimpahkan kepada senior dan rekan-rekan kepolisiannya. "Semoga rasa penyesalan dan permohonan maaf ini dapat diterima. Saya siap menjalani proses hukum ini dengan baik," tuturnya dalam surat tersebut.

Kuasa Hukum Sambo Arman Hanis telah memastikan bahwa surat tersebut benar-benar ditulis kliennya. Dalam surat tersebut tampak bahwa Sambo menyesal membuat rekan-rekannya ikut terseret dalam kasus tersebut. Lalu, bagaimana nasib dari 97 anggota kepolisian yang diperiksa terkait kasus obstruction of justice?

Komisioner Kompolnas Poengky Indarti menuturkan bahwa dari puluhan anggota itu terdapat klaster-klaster berdasarkan pelanggaran yang dilakukan. Terdapat personel yang kategorinya pidana, namun ada juga yang kategorinya administratif. "Kalau klaster pidana ya harus diproses, kode etik juga dijalankan," ungkapnya.

Lalu, untuk personel yang kategori pelanggaran administratif diproses kode etik. Sanksinya dari yang ringan, sedang hingga berat. "Tidak bisa disamaratakan, harus ada prinsip fairness," jelasnya.

Sementara Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menjelaskan, obstruction of justice merupakan tindakan menghalangi proses hukum dalam pembunuhan terhadap Brigadir Yosua. Jelas perbuatan tersebut merupakan pelanggaran pidana. "Ada beberapa pasal untuk obstruction of justice," ujarnya.

Pasal-pasal untuk obstruction of justice itu yakni, pelanggaran terhadap Pasal 220 KUHP untuk keterangan palsu, Pasal 221 KUHP untuk menyembunyikan orang dan menghalangi penangkapan, Pasal 222 KUHP untuk mencegah pemeriksaan jenazah untuk forensik, Pasal 223 KUHP untuk menolong meloloskan diri, Pasal 224 KUHP untuk tidak memenuhi panggilan sebagai saksi atau tersangka, dan  Pasal 225 KUHP untuk tidak menyerahkan barang bukti. "Tapi ada alasan pemaaf dalam kondisi tersebut," jelasnya.

Dia mengatakan, bila perbuatan tersebut dilakukan secara sengaja dan dalam tekanan. Tekanan itu harus sedemikian rupa sehingga, seseorang tidak mungkin mengambil langkah lain. "Tekanan ini bisa menjadi alasan pemaaf," tuturnya.

Namun, bila seseorang itu tidak dalam tekanan. Maka, tidak ada alasan pemaaf, yang artinya anggota kepolisian itu memang sudah bekerja dengan tidak profesional. "Ini pembedanya," paparnya.

Bagian lain, Pengamat Kepolisian Bambang Rukminto mengatakan bahwa sesuai dengan Peraturan Polri nomor 7/2022 tentang Kode Etik dan Sidang Etik Profesi Polri, khususnya Pasal 17 terdapat tiga kategori pelanggaran, yakni ringan, sedang dan berat.

"Perbedaannya perbuatan lalai atau sengaja, dilakukan untuk kepentingan bukan pribadi atau pribadi dan ada pemufakatan jahat, berdampak ke masyarakat dan institusi, menjadi perhatian publik dan melakukan pidana," ujarnya.

Kalau perbuatannya sengaja, untuk kepentingan pribadi, berdampak ke masyarakat, institusi, dan negara. Serta menjadi perhatian publik dan melakukan pidana, dia mengatakan bahwa kategorinya jelas pelanggan kode etik berat. "Perlu dilihat semua personil itu pelanggarannya masuk kategori mana," ujarnya.

Dia menegaskan, proses kode etik ini merupakan langkah awal pembuktian dari konsistensi Kapolri. (idr/syn/lum/jpg)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook