PARIS (RIAUPOS.CO) – Ibu dari seorang remaja berusia 17 tahun bernama Nahel, yang ditembak polisi Prancis, pada Kamis (29/6), yakin rasialisme menjadi motif kematian putranya. Dalam wawancara yang disiarkan pada saluran TV France 5 seperti dilansir dari Antara, ibu Nahel, Mounia, mengatakan, petugas polisi itu melihat wajah seorang Arab, seorang anak kecil, dan ingin mengambil nyawanya.
Mounia mengatakan, dia tidak berniat menyalahkan seluruh institusi penegak hukum. Dia hanya menuntut seorang petugas polisi yang membunuh putranya.
”Saya tidak menyalahkan (institusi) polisi. Saya menyalahkan satu orang yang merenggut nyawa anak saya,” kata Mounia.
Nahel ditembak mati oleh polisi pada Selasa (27/6) di daerah pinggiran Paris, Nanterre, setelah dia melanggar undang-undang lalu lintas dan menolak menepi menurut jaksa. Jaksa pada Kamis (29/6), mengatakan petugas yang membunuh Nahel itu telah didakwa dengan pembunuhan secara disengaja dan ditahan dalam penahanan prasidang.
Pengacara polisi tersangka pembunuhan, Laurent-Franck Lienard mengatakan kepada BFMTV kliennya hancur dan meminta pengampunan dari keluarga korban.
”Dia tidak bangun pada pagi hari untuk membunuh orang. Dia tidak ingin membunuh,” tambah Laurent-Franck Lienard.
Kerusuhan pecah di Prancis pada Kamis (29/6) malam usai kematian Nahel yang tewas ditembak polisi. Para pengunjuk rasa mencoba membakar balai kota di Clichy di daerah pinggiran Kota Paris, menurut rekaman video yang beredar di media sosial.
Kerusuhan tersebut mendorong otoritas setempat untuk memberlakukan jam malam. Di Meudon, 9,1 kilometer dari pusat kota Paris misalnya, jam malam berlaku mulai pukul 22.00 sampai 06.00, kata wali kota setempat.
Jean-Didier Berger, wali Kota Clamart, yang terletak 8,7 kilometer dari pusat Kota Paris, juga memutuskan untuk memberlakukan jam malam mulai pukul 22.00 hingga 06.00 sampai Senin.
Valerie Pecresse, Presiden Dewan Regional Île-de-France, juga mengumumkan bahwa layanan bus dan trem di dalam dan sekitar Paris dihentikan setelah pukul 22.00 pada Kamis (29/6) untuk melindungi karyawan dan penumpang.
Otoritas penegak hukum di Prancis pada Kamis (29/6), menangkap 176 orang dalam kerusuhan yang pecah setelah kematian seorang remaja berusia 17 tahun akibat ditembak polisi di daerah pinggiran ibu kota Paris. Penangkapan terjadi ketika otoritas setempat memberlakukan jam malam di empat wilayah.
Kota Clamart, 8,7 kilometer dari pusat Kota Paris, memberlakukan jam malam dari pukul 21.00 sampai pukul 06.00 hingga Senin. Jam malam juga berlaku di daerah lain, yaitu Neuilly-sur-Marne, Savigny-le-Temple, dan Compiegne.
Di Neuilly-sur-Marne, jam malam akan berlaku mulai pukul 23.00 sampai 06.00 hingga Senin, sedangkan di Savigny-le-Temple akan diberlakukan mulai pukul 22.00 hingga jam 05.00 sampai Ahad, menurut laporan otoritas setempat.
Di Compiegne, jam malam akan diberlakukan bagi mereka yang berusia di bawah 16 tahun yang tidak didampingi orang tua antara pukul 22.00. sampai jam 6 pagi sampai Senin.
Sebelumnya, ketegangan meningkat selama unjuk rasa yang dipimpin oleh ibu Nahel di Nanterre. Kepolisian Paris melaporkan bahwa lebih dari 6.000 orang bergabung dalam aksi protes tersebut.
”Saya merasa tidak aman. Ketika saya pergi ke luar dan melihat polisi, saya pikir mungkin mereka akan menembak saya,” kata Sophia, seorang gadis berusia 17 tahun yang ikut aksi protes, kepada radio France Info.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Edwar Yaman