Greenpeace Dinilai Kampanye Negatif soal Sawit

Nasional | Sabtu, 24 November 2018 - 08:06 WIB

Greenpeace Dinilai Kampanye Negatif soal Sawit
KUMPULKAN: Seorang pekerja sedang mengumpul tandan buah segar kelapa sawit, baru-baru ini. (SOLEH SAPUTRA/RIAU POS)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Aksi sepihak LSM Greenpeace yang menduduki secara ilegal kapal pengangkut minyak sawit dari Indonesia serta serangkaian tindakan yang dilakukan di dalam negeri terus menuai kecaman. Senada dengan pemerintah, petani dan pelaku usaha sawit mengecam keras aksi dan provokasi Greenpeace terhadap produk minyak sawit Indonesia. Langkah itu dinilai kampanye negatif terhadap industri kelapa sawit tanah air.

“Jelas Greenpeace telah mengusik kedaulatan kita sebagai bangsa. Kita negara hukum tetapi mereka mengabaikan aturan hukum yang ada di NKRI,’’ kata Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Mukti Sardjono dalam keterangan persnya di Jakarta, Rabu (21/11).

Baca Juga :WEI Dorong Petani Swadaya Menuju Kelapa Sawit Berkelanjutan

Sebelumnya Menko Kemaritiman Luhut B Panjaitan dalam wawancara dengan wartawan, meminta  Greenpeace bisa menyampaikan aksi dan  kritiknya kepada industri sawit Indonesia dengan lebih beradab. Apalagi, sektor kelapa sawit adalah tulang punggung  ekonomi nasional dan menjadi mata pencaharian bagi 17 juta rakyat Indonesia.

Mukti mengatakan, aksi sepihak Greenpeace mengancam 17 juta petani dan pekerja yang menggantungkan hidupnya dari sektor perkebunan kelapa sawit. “Apakah mereka, para LSM asing berkedok penyelamat lingkungan itu sudah memikirkan nasib para petani sawit? Jika industri sawit mati, siapkah para LSM memberikan kesempatan kerja pengganti?’’ tegas Mukti.

Mukti mengatakan, pengelolaan perkebunan kelapa sawit yang disusahakan oleh perusahaan perkebunan adalah mengikuti peraturan perundangan yang berlaku, baik dalam proses perizinan, pengelolaan kebun dan produksi kelapa sawit.

“Semua perusahaan perkebunan kelapa sawit dalam melakukan usahanya harus mendapatkan Izin Usaha Perkebunan (IUP) yang dikeluarkan pemerintah. Tanpa ada  IUP, maka perusahaan tidak dapat melakukan usaha perkebunan,’’ katanya.

Lahan yang diberikan dalam IUP adalah lahan APL (areal penggunaan lain) dan atau hutan produksi yang dapat di konversi (HPK) yang mana pemanfaatan HPK harus ada izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook