Greenpeace Dinilai Kampanye Negatif soal Sawit

Nasional | Sabtu, 24 November 2018 - 08:06 WIB

Greenpeace Dinilai Kampanye Negatif soal Sawit
KUMPULKAN: Seorang pekerja sedang mengumpul tandan buah segar kelapa sawit, baru-baru ini. (SOLEH SAPUTRA/RIAU POS)

“Dalam setiap IUP, juga dilengkapi dengan dokumen AMDAL, yang memastikan bahwa usaha perkebunan yang dilakukan adalah benar-benar tidak menyebabkan kerusakan lingkungan.’’

Dalam melakukan pembukaan dan pembangunan kebun, kata Mukti, perusahaan perkebunan kelapa sawit tunduk kepada peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah, termasuk harus mengikuti prinsip dan kriteria di dalam ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil). Seperti pembukaan lahan tanpa bakar, melindungi kawasan yang mempunyai nilai konservasi tinggi bagi masyarakat (seperti makam leluhur, sumber air dan lain-lain), pembuatan kontur dan tapak tanam untuk wilayah perbukitan, penanaman 50 meter dari sempadan sungai, dan lain-lain. Saat ini perusahaan-perusahaan anggota GAPKI juga sudah lebih maju dalam manajemen pencegahan dan penanggulangan kebakaran lahan. Saat ini 413 perusahaan telah mendapatkan sertifikat ISPO dan direncanakan 2019 semua perusahaan anggota GAPKI sudah memproses sertifikasi ISPO.

Baca Juga :WEI Dorong Petani Swadaya Menuju Kelapa Sawit Berkelanjutan

Mukti mengatakan, berbagai tuduhan yang dialamatkan kepada perusahaan kelapa sawit bahwa mereka memproduksi minyak kotor adalah tidak benar. “Kami juga tidak setuju dengan penggunaan istilah minyak sawit kotor karena saat ini pemerintah dan dunia usaha mempercepat tercapainya industri sawit yang berkelanjutan,’’ kata Mukti.

Bahkan, kata dia, sektor perkebunan kelapa sawit menjadi sektor ekonomi utama untuk mencapai SDGs.

Menanggapi tudingan tersebut Kepala Kampanye Global untuk Hutan Indonesia Greenpeace Kiki Taufik tidak memberi reaksi berlebihan. Menurutnya apa yang dilakukan timnya wajar sebagai aktivis. Terkait pendudukan kapal milik Wilmar, lanjutnya, sebenarnya sudah ada upaya membicarakannya. Kiki mengaku dalam sepuluh tahun terakhir, apalagi sebulan ini, Greenpeace melakukan pembicaraan dengan Wilmar. Intinya, Greenpeace mencoba mengajak untuk mengadopsi rencana yang kuat untuk mengeluarkan perusak hutan dari rantai pasokannya.

“Kami meminta Wilmar untuk berkomitmen pada prinsip-prinsip spesifik dan tindakan yang dapat diukur dan terikat waktu. Ini berulang kali gagal dipenuhi. Kami menyimpulkan bahwa ini mengulur-ulur waktu saja dan tidak serius membersihkan kelapa sawitnya,’’ pernyataan Kiki Taufik kepada Riau Pos.

Bagi Kiki, peta konsesi sangat krusial untuk menyelamatkan hutan dan lahan gambut tersisa. Ini juga sebagai bentuk transparansi publik, agar dapat membantu negara dalam melakukan pengawasan dan meningkatkan pajak negara. Itu juga yang menjadi salah satu dari beberapa tuntutan Greenpeace.

Wilmar berjanji membersihkan rantai pasokannya terkait bebas deforestasi dari pemasok yang masih merusak sawit. Maka, peta konsesi sebenarnya membantu Wilmar dan negara dalam mengawasi seluruh rantai pasokan agar dapat mengidentifikasi semua kelompok produsen yang masih terlibat dalam deforestasi.

“Kami mencoba meminta tanggapan dari Menko Maritim Luhut Panjaitan yang selama ini getol membela industri sawit, beliau justru meminta Greenpeace di audit, walau saya rasa ini sangat aneh,’’ ujar Kiki.(rls/aga)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook