ASN DI WILAYAH PPKM LEVEL 1 WFO 75 PERSEN

Syarat PCR Jadi Pro-Kontra

Nasional | Minggu, 24 Oktober 2021 - 09:52 WIB

Syarat PCR Jadi Pro-Kontra
ILustrasi (ISTIMEWA)

(RIAUPOS.CO) - Keputusan pemerintah mewajibkan calon penumpang pesawat dari dan ke Jawa-Bali melakukan tes PCR mulai memicu polemik. Banyak pihak yang keberatan dengan aturan tersebut karena alasan biaya. Namun, tidak sedikit yang mendukung kebijakan itu dengan alasan kesehatan dan keselamatan.

Seperti diketahui, tarif tes antigen untuk Jawa-Bali ditetapkan maksimal Rp99 ribu. Sedangkan untuk daerah di luar Jawa-Bali, tarif maksimal sebesar Rp109 ribu. Untuk tes PCR, tarif maksimal ditetapkan Rp495 ribu untuk area Jawa-Bali. Sedangkan area di luar Jawa-Bali ditetapkan tarif maksimal Rp 525 ribu.


Sekretaris Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Suyanto menilai, kewajiban tes PCR akan berimbas pada tambahan biaya konsumen. Pasti akan memberatkan.

Hal ini bisa memunculkan kembali keengganan konsumen menggunakan transportasi udara. "Dampaknya juga akan dirasakan dunia penerbangan. Nasib maskapai dan airport akan makin terpuruk," ujarnya, Sabtu  (23/10).

Di sisi lain, kata dia, kebijakan itu kental unsur diskriminatif. Sebab, hanya calon pengguna moda transportasi udara yang diwajibkan tes PCR. Sedangkan moda transportasi lain masih diperkenankan menggunakan tes rapid antigen. Bahkan ada juga yang hanya perlu menunjukan bukti telah vaksin.

Selain itu, menurutnya, perubahan level PPKM menjadi level 2 bahkan 1, harusnya dapat memberikan kelonggaran dalam dunia usaha. Ditambah dengan cakupan vaksinasi yang mulai meluas, maka syarat penerbangan seharusnya cukup dengan tes antigen yang harganya lebih terjangkau.

Karena itu, ia mendesak agar kebijakan itu dibatalkan. Kemudian, tes PCR dikembalikan pada porsinya, yaitu menjadi ranah medis untuk menegakkan diagnosa. Bukan sebagai alat screening perjalanan. "Minimal ditinjau ulang dengan memperhatikan kepentingan konsumen. Sebab, tidak semua daerah memiliki banyak laboratorium PCR yang dapat mengeluarkan hasil dengan cepat," tuturnya.

Namun, bila pemerintah masih bersikukuh menjadikan tes PCR sebagai kewajiban penumpang pesawat, maka pemerintah perlu menekan seminimal mungkin biaya tes. Dengan demikian, konsumen bisa menjalni tes PCR dengan harga terjangkau. "Jangan sampai menimbulkan praduga di masyarakat bahwa kebijakan ini kental aura bisnisnya," sambungnya.

Kesulitan mendapat tes PCR ini diamini oleh Toyibi, 27. Dia sempat frustasi lantaran tak bisa menemukan lokasi layanan PCR di Tarakan, Kalimantan Utara. Padahal, tiket pulang ke Jakarta sudah di tangan. Dia telah menghubungi sejumlah rumah sakit penyedia layanan PCR di sana.

Sayangnya, tak ada yang bisa memberi hasil PCR dengan cepat. Bahkan, salah satu rumah sakit menyatakan harus mengirim sampel ke Jakarta terlebih dahulu. Sehingga memerlukan waktu beberapa hari hingga hasil bisa diperoleh. Itupun pengambilan sampel tidak bisa dilakukan di Sabtu-Ahad. Hanya di hari kerja dan jam tertentu. "Ini sih bisa pergi, gak bisa pulang," keluhnya.

Hingga akhirnya, dia mendapat rekomendasi untuk PCR di salah satu klinik dari kenalannya. Menariknya lagi, ada tiga paket yang ditawarkan untuk PCR di sana. Paket pertama seharga Rp600 ribu dengan catatan, hasil tak bisa digunakan untuk syarat perjalanan. Kepastian kapan hasil keluar pun tak bisa diberikan. Begitu pula dengan paket kedua yang dibanderol Rp750 ribu. "Yang ini bisa dipakai untuk terbang, tapi gak tau kapan keluarnya (hasilnya, red)," katanya.

Akhirnya, dia memutuskan mengambil paket ketiga seharga Rp900 ribu dengan kepastian hasil keluar dalam dua hari. Dan tentunya, bisa digunakan untuk syarat perjalanan dengan moda pesawat terbang. "Nggak kebayang di daerah yang lebih terpencil. PCR-nya itu gimana. Kayak di Sebatik itu yang gak ada," ungkapnya.

Sebetulnya, kata dia, aturan wajib PCR ini tak jadi soal. Bahkan, bisa meningkatkan keamanan saat perjalanan. Namun, harus dibarengi dengan ketersediaan laboratorium yang mendukung tes PCR dengan hasil cepat. Sehingga, masyarakat tidak kesulitan untuk memenuhi persyaratan penerbangan tersebut.

Berbeda dengan YLKI, Wakil Ketua Komisi IX DPR Melki Laka Lena justru mendukung penuh langkah pemerintah tersebut. Menurutnya, syarat tersebut diterapkan sebagai langkah untuk mencegah penularan Covid-19. "Lebih baik mencegah daripada mengobati, lebih baik mencegah ada potensi munculnya klaster daripada baru diobati," ujar Politisi Partai Golongan Karya (Golkar) tersebut.

Diakuinya, kondisi Covid-19 di Indonesia mulai melandai. Meski begitu, potensi penularan Covid-19 di ruang publik masih ada. Belum lagi, risiko munculnya penularan gelombang ketiga yang kini banyak meluluhlantakkan sejumlah negara.

Oleh karena itu, kata dia, syarat tes PCR dapat digunakan  untuk mengantisipasi adanya kemungkinan penularan Covid-19 di ruang publik. Tak terkecuali di dalam pesawat terbang. Selain itu, Melki berharap pemerintah bisa melakukan pemeriksaan Covid-19 secara rutin di ruang-ruang publik lain.

Bukan hanya di sarana transportasi massal. Seperti sekolah-sekolah yang kini mulai PTM terbatas, pusat-pusat perdagangan, atau perkantoran. Mengingat saat ini aktivitas masyarakat sudah mulai berangsur pulih. "Mesti ada upaya untuk kita secara periodik tes acak, misalnya sepekan sekali atau dua kali di kantor, di sekolah, ada swab antigen misalnya, acak gitu," ungkapnya.

Senada dengan Melki, Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI Prof Tjandra Yoga Aditama juga sepakat agar tes PCR digunakan untuk syarat bepergian dengan pesawat terbang ini. Sebab, PCR merupakan gold standard dengan tingkat akurasi yang paling tinggi untuk tes Covid-19. "Artinya, hasil negatif tes PCR memberi keamanan yang lebih tinggi untuk pencegahan penularan Covid-19," tuturnya.

Sementara itu, dengan sensitivitas dan spesifisitas pada rapid antigen, meski hasil negatif maka masih ada kemungkinan virus SARS CoV 2 penyebab Covid-19 dalam tubuh seseorang. Namun, Mantan Direktur WHO Asia Tenggara ini juga memberi sejumlah catatan pada aktivitas penerbangan yang sudah berjalan saat ini. Secara umum bandara sudah cukup ramai penumpang dan di beberapa restoran pengunjung cukup banyak.

Yang perlu diperhatikan ialah sering terjadi titik kepadatan yang membuat penumpang berkerumun. Misalnya, ketika antre akan naik pesawat di gate di bandara. Antrean masuk ke pesawat yang cukup panjang praktis membuat penumpang tidak menjaga jarak. "Hal ini sebaiknya diperbaiki, walaupun sedang antre maka tetap harus berjarak setidaknya 1 meter antarpenumpang," katanya.

Kondisi serupa juga terjadi saat pemeriksaan eHAC di bandara kedatangan. Dia menyarankan ada inovasi lain agar antrean dapat dikurangi dan tidak menimbulkan kerumunan. "Misalnya dengan menyediakan mesin agar penumpang dapat langsung menscan eHAC tanpa perlu harus antri dan dicek satu per satu," sambung Guru Besar FK UI tersebut.

Pada bagian lain, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) kembali mengeluarkan aturan baru terkait sistem kerja aparatur sipil negara (ASN) di masa pandemi. Sistem kerja tersebut tercantum dalam SE Menteri PANRB No. 24/2021 tentang Perubahan Atas SE Menteri PANRB No. 23/2021 tentang Penyesuaian Sistem Kerja Pegawai ASN Selama Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Pada Masa Pandemi Covid-19. "Perubahan dilakukan setelah melihat status penyebaran Covid-19 di Tanah Air saat ini," ujar Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPANRB) Tjahjo Kumolo.

Berbeda dengan sebelumnya, kini sistem kerja ASN yang berada dalam PPKM level 1 juga mulai diatur. Untuk sektor non-esensial di Jawa dan Bali misalnya. Bagi mereka yang berada di wilayah PPKM level 1 maka sudah bisa masuk kantor dengan maksimum 75 persen pegawai. Kemudian, di PPKM level 2 sebanyak 50 persen WFO, level 3 sebanyak 25 persen WFO. Seluruhnya, hanya diperuntukkan bagi pegawai yang sudah divaksin Covid-19. "Sementara di PPMK level 4, pegawai masih 100 persen work from home (WFH)," katanya.

Kemudian untuk Luar Jawa dan Bali, untuk wilayah yang masuk PPKM Level 1 dan 2 dengan kabupaten atau kota zona hijau, kuning, dan oranye diberlakukan 50 persen WFO. Sementara itu, kabupaten atau kota zona merah diberlakukan 25 persen WFO.

Selanjutnya, untuk PPKM level 3 sebanyak 50 persen WFO dan PPKM level 4, sebanyak 25 persen WFO. Seluruhnya diproritaskan bagi pegawai yang telah divaksinasi. Lalu, jika ditemukan klaster Covid-19, maka kantor wajib ditutup selama lima hari.

Beda lagi dengan kantor pemerintahan sektor esensial. Untuk wilayah Jawa dan Bali yang masuk PPKM Level 1 maka pegawai WFO maksimal 100 persen. Sementara, untuk PPKM Level 2, maksimal 75 persen WFO dan PPKM Level 3 dan 4, maksimal 50 persen WFO.

Untuk di luar Jawa dan Bali yang berada di wilayah PPKM level 3, pegawai WFO maksimal 100 persen. Kemudian, yang berada di PPKM level 4, maksimal 50 persen WFO. Sementara, untuk kantor pemerintahan sektor kritikal baik Jawa dan Bali maupun di luar wilayah tersebut, pegawai bisa masuk kantor secara penuh.(mia/oni/das)

 

Laporan JPG, Jakarta









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook