JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Pimpinan dan Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum bisa tancap gas meski telah resmi menjabat. Pasalnya, alat kelengkapan dewas belum siap. Seperti ruang kerja hingga bagian sekretariat dan staf pendukung lain yang melekat dengan fungsi dewas. Sampai kemarin (21/12), KPK masih dalam proses melengkapi keperluan itu.
Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar mengatakan dewas baru tentu belum memiliki kelengkapan. Semua proses itu harus dilakukan bertahap. Keperluan itu diurus oleh Sekretariat Jenderal (Sekjen) KPK. ’’Sekjen tentu memikirkan itu. Ruangan, alat kelengkapan, dan staf yang bantu (urusan) gaji dewas dan semuanya,” kata Lili saat dikonfirmasi JPG, kemarin.
Lili menyebut hingga kemarin pihaknya belum tahu persis ruangan mana yang akan menjadi tempat kerja dewas baru. Ada kemungkinan dewas akan ditempatkan di gedung KPK lama (C1) di Jalan Rasuna Said, sekitar 500 meter dari kantor KPK baru di Jalan Kuningan Persada. ’’Mungkin kalau gedung (KPK) baru penuh, ya di gedung (KPK) lama,” ungkapnya.
Menurut sumber JPG di internal KPK, gedung KPK lama cocok untuk tempat kerja dewas. Lima anggota dewas bisa ditempatkan di beberapa ruangan yang dulu pernah digunakan pimpinan KPK. Gedung lama, kata sumber itu, punya nilai histori perjuangan pemberantasan korupsi dari masa ke masa.
Nah, dewas baru yang mayoritas merupakan tokoh berintegritas bagi sebagian besar kalangan, dinilai cocok meneruskan perjuangan itu. ’’Di gedung lama juga lebih aman, karena tidak satu atap dengan pimpinan,” ujar pegawai KPK yang enggan disebutkan namanya itu. ’’Jadi kalau mau laporan (tentang pimpinan, red) bisa lebih leluasa,” tuturnya.
Lili menambahkan pihaknya memastikan akan menjalankan amanah UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Pun, tidak ada masalah dewas mau ditempatkan di mana. Sementara ini, pihaknya akan menyesuaikan kerja-kerja di KPK menggunakan UU yang berlaku sejak 17 Oktober lalu. ’’Kami sedang memastikan penyesuaian UU baru,” terang mantan Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) itu.
Lantas bagaimana kerja penindakan KPK sembari melengkapi keperluan dewas? Lili mengakui belum bisa tancap gas dalam waktu dekat. Pun, seperti kebanyakan pejabat baru, pihaknya akan menjalin koordinasi dan komunikasi ke beberapa kementerian serta lembaga tinggi negara. ’’Sama seperti di LPSK dulu, pekan pertama (setelah pelantikan, red) berkunjung ke beberapa instansi,” ucapnya.
Terpisah, pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengingatkan publik untuk tidak terhanyut dengan narasi dewas yang berasal dari unsur-unsur berintegritas. Menurutnya, narasi itu bisa jadi ‘’jebakan batman’’. ’’Karena yang keliru (dari penunjukan dewas) itu sistemnya. Sistem yang menempatkan KPK sebagai lembaga di bawah pemerintahan,” ujarnya usai mengisi acara di Jakarta.
Dia menyebut, dengan berlakunya UU KPK yang baru, KPK tidak ada bedanya dengan lembaga penegak hukum yang lain. Bahkan, kata dia, status pimpinan KPK sekarang hanya bersifat administratif. ’’Dia (pimpinan KPK) bukan penegak hukum, dia bukan penyidik, dan bukan penuntut. Dia tidak punya kewenangan untuk menyentuh penyadapan atau penangkapan,” paparnya.
Fickar juga menyorot soal kewenangan dewas yang lebih tinggi dari pimpinan, namun tidak ada sistem yang membatasi kelebihan itu. Misal, perangkat untuk menghukum dewas yang melakukan pertemuan dengan orang berperkara di KPK. ’’Komisioner (KPK) saja yang bertemu orang di luar KPK bisa dihukum, tapi dewas ini bebas, tidak ada larangan apa-apa,” imbuh pria berkacamata itu.
Ke depan, Fickar berharap ada sistem yang baik yang menjadi solusi kelebihan kewenangan itu. Sebab, bila tidak ada sistem yang baik, bukan tidak mungkin jabatan dewas akan disalahgunakan untuk kepentingan tertentu. ’’Kalau orang-orang yang duduk di dewas itu tidak punya integritas seperti sekarang, tidak mustahil dewas itu akan disalahgunakan kewenangannya,” imbuhnya.
Dewas Jangan Persulit Izin Penyadapan
Di bagian, oposisi melancarkan kritik keras dengan keberadaan dewan pengawas KPK. Dewas dikhawatirkan bisa mengurangi indepensi penyidik dalam mengusut dugaan korupsi. Yang paling menjadi sorotan soal izin penyadapan.
Fungsionaris DPP PKS Indra berharap dewas tidak mempersulit izin penyadapan. Juga tidak boleh terjebak pada birokrasi bertahap dan bertele-tele. ’’Jika ini terjadi, kita khawatir momentum pengungkapan barang bukti bisa hilang,” ungkapnya.
Penyadapan diatur dalam pasal 12 B UU Nomor 19/2019 tentang KPK. Bahwa izin penyadapan harus diberikan secara tertulis paling lambat diberikan 1x24 jam. (tyo/mar/jpg)