JAKARTA, (RIAUPOS.CO) - Komjen Listyo Sigit Prabowo resmi menjadi Kapolri. Salah satu program unggulannya adalah electronic traffic law enforcement (ETLE) atau yang lebih dikenal sebagai tilang elektronik. Selama ini tilang elektronik ini baru ngetren di Jakarta, namun ternyata Korlantas Polri telah berupaya menerapkan tilang elektronik di sejumlah kota lainnya.
Setidaknya ada lima kota yang telah menerapkan dan menguji coba tilang elektronik tersebut. Selain Jakarta, ada juga, Makassar, Semarang, Solo, dan Surabaya. Direktur Keamanan dan Keselamatan (Dirkamsel) Korlantas Polri Brigjen Chrsyhnanda Dwilaksana menyebutkan, memang ETLE atau tilang elektronik "Sistem ini dikembangkan di seluruh Indonesia," ujar Profesor Ilmu Kepolisian tersebut.
Dalam pelaksanaannya tilang elektronik ini menjadi kebijakan setiap direktorat lalu lintas di tiap Polda. Dengan tilang elektronik ini, maka semua sejajar di mata hukum.
"Siapa saja yang melanggar, baik, masyarakat umum, aparat penegak hukum dan pejabat negara, begitu melanggar lalu lintas tercatat," urainya.
Di Jakarta, persoalan paling utama dalam penerapan tilang elektronik adalah jumlah closed circuit television (CCTV). Karena itu, Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya terus berupaya menambah jumlah CCTV. Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Kombespol Sambodo Purnomo Yogo menuturkan, pihaknya sedang mengajukan proposal penambahan CCTV atau kamera untuk ETLE yang akan dipasang di jalanan ibukota.
"Kami telah mengajukan ke Pemda DKI untuk penambahan sekitar 50 kamera ETLE," tuturnya dalam keterangan tertulisnya, Kamis (21/1).
Jumlah kamera yang saat ini telah beroperasional mencapai 57 unit. Dia mengatakan, kamera tersebut mampu untuk mendeteksi semua jenis pelanggaran lalu lintas. "Kamera dapat menangkapan pelanggaran itu," paparnya.
Ada sejumlah pelanggaran yang bisa dideteksi kamera ETLE yakni, tidak memakai helm, menggunakan handphone, melanggar rambu dan marka, tidak memakai sabuk keselamatan dan bahkan penggunakan plat nomor palsu. "Tentunya harus siap untuk ditilang yang melanggar itu," jelasnya.
Untuk diketahui, di Makassar telah menerapkan tilang elektronik sejak 2018. Lalu, penerapan tilang elektronik di Solo juga telah dilakukan sejak 2019. Untuk dua kota lain, Semarang dan Surabaya sempat melakukan uji coba tilang elektronik tersebut.
Sementara Pengamat Transportasi Djoko Setijawarno mendukung langkah Komjen Listyo Sigit Prabowo dengan program ETLE. Menurutnya, langkah itu sangat tepat untuk jalanan Indonesia. "Bagus dan semoga serius diterapkan," paparnya dihubungi kemarin.
Namun begitu, saat ini ada tantangannya yang perlu dicari solusinya. Yakni, kemungkinan adanya penggunaan plat nomor orang lain, serta masyarakat yang jual beli kendaraan, namun tidak balik nama. "Belum lagi ada saja ragam model kecurangan lainnya," urainya.
Dia mengatakan, ada juga kebiasaan pejabat yang mengganti plat merah kendaraan menjadi plat hitam. Yang pasti, masyarakat harus sadar kelalaiannya. "Lalu, pejabat juga harus memberi contoh," tuturnya.
Program ETLE dari Komjen Listyo Sigit memang perlu didukung. Namun, dalam visi dan misi sebagai kapolri ada beberapa yang perlu disoroti. Koalisi Reformasi Sektor Keamanan yang terdiri atas KontraS, Amnesty International Indonesia, HRWG, LBH Jakarta, Setara Institute, PBHI, dan ICW menyoroti beberapa poin dalam visi misi yang disampaikan oleh Listyo dalam fit and proper test di DPR. Di antaranya berkenaan dengan akuntabilitas dan brutalitas aparat kepolisian ketika berhadapan dengan massa yang berdemonstrasi.
Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti menilai, hal itu harus menjadi perhatian khusus. Sebab, sudah berulang kali aparat kepolisian bertindak represif terhadap aksi-aksi massa. Mulai gerakan mahasiswa dan pelajar dalam aksi bertanda pagar Reformasi Dikorupsi sampai penolakan undang-undang cipta kerja. "Tindakan brutal terus terjadi karena tidak ada evaluasi menyeluruh dan minimnya pengawasan serta akuntabilitas terkait penggunaan kekuatan dalam menangani unjuk rasa," jelasnya.
Tindak kekerasan oleh aparat kepolisian kepada masyarakat sipil, lanjut dia, tidak sedikit yang menimbulkan korban jiwa. Fatia menyebut, lemahnya proses hukum terhadap personel Polri yang bertindak melawan hukum menjadi salah satu alasan tindak kekerasan secara sewenang-wenang oleh aparat kepolisian masih terjadi.
"Tidak ada penghukuman secara tegas, baik secara pidana maupun etik bagi aparat yang melakukan tindak kekerasan," jelasnya.
Bahkan, KontraS juga mendapati ada pembiaraan dari atasan pelaku tindak kekerasan tersebut. Alhasil praktik-praktik kekerasan oleh aparat kepolisian terus bermunculan. "Kami berpendapat jika masalah itu tidak dievaluasi maka sulit untuk memiliki pemolisian demokratis di bawah kepemimpinan Listyo," tegas dia.
Mereka juga tidak melihat ada langkah atau program strategis yang dibeberkan oleh Listyo untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Komitmen yang disampaikan di hadapan anggota dewan, dinilai koalisi, baru sebatas janji. Mereka belum melihat ada niatan yang lebih serius untuk menyelesaikan masalah itu.
"Tidak ada solusi konkret mengenai berbagai permasalahan mendasar di tubuh Polri seperti penyiksaan, extrajudicial killing, penempatan anggota Polri pada jabatan di luar organisasi Polri," jelasnya. Alih-alih menunjukkan niatan serius, Listyo malah menyampaikan visi dan misi yang berpotensi melahirkan pelanggaran HAM.
Di antaranya rencana mengaktifkan Pam Swakarsa. "Kebijakan itu berpotensi melanggar HAM," ungkap Fatia.
Menurut dia, tidak ada kualifikasi jelas mengenai organisasi yang dapat dijadikan sebagai Pam Swakarsa.
Sementara itu, Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo ditetapkan sebagai Kapolri dalam rapat paripurna DPR RI kemarin (21/1). Rapat tersebut diawali dengan penyampain laporan hasil fit and proper test yang disampaikan Wakil Ketua Komisi III Ahmad Sahroni. Sahroni mengatakan, Komisi III sepakat memberhentikan Jenderal Pol Idham Azis sebagai kapolri dan selanjutnya mengangkat Komjen Listyo Sigit sebagai kapolri.
"Kami secara mufakat menyetujui Komjen Listyo Sigit sebagai kapolri," tegas dia saat membacakan laporan.(idr/syn/lum/jpg)