JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Tekanan eksternal dan domestik membuat Bank Indonesia (BI) kembali menaikkan suku bunga acuannya. Kamis (20/10), Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI memutuskan untuk menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 50 basis poin (bps) menjadi 4,75 persen.
Bank sentral juga terus memperkuat respons bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas dan momentum pemulihan ekonomi. Di antaranya, memperkuat operasi moneter melalui kenaikan struktur suku bunga di pasar uang sesuai dengan kenaikan suku bunga BI7DRR. "Sehingga mampu menurunkan ekspektasi inflasi dan memastikan inflasi inti kembali ke sasarannya lebih awal. Yaitu, ke dalam sasaran 3 persen plus-minus 1 persen pada paruh pertama 2023," kata Gubernur BI Perry Warjiyo.
Stabilisasi nilai tukar rupiah dilakukan BI dengan tetap berada di pasar sebagai bagian dari upaya pengendalian inflasi. Terutama imported inflation, melalui intervensi di pasar valas. Baik melalui transaksi spot, domestic non deliverable forward (DNDF), serta pembelian maupun penjualan Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.
Perry menyebutkan, BI juga melanjutkan implementasi kebijakan makroprudensial akomodatif untuk mendorong penyaluran kredit/pembiayaan perbankan kepada dunia usaha. Antara lain, pelonggaran rasio Loan to Value/Financing to Value (LTV/FTV) kredit/pembiayaan properti menjadi paling tinggi 100 persen. Berlaku untuk semua jenis properti. Yakni, rumah tapak, rumah susun, serta rumah toko/rumah.
Ketentuan uang muka atau down payment (DP) kredit/pembiayaan nol persen juga berlaku untuk bagi semua jenis kendaraan bermotor. "Semuanya (KPR dan KKB) berlaku efektif 1 Januari 2023 sampai dengan 31 Desember 2023," ucap pria asal Sukoharjo itu.
Terpisah, Anggota Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Kebijakan Moneter dan Jasa Keuangan Ajib Hamdani memandang kenaikan suku bunga cenderung memberikan sentimen negatif. Terutama korelasinya pada pertumbuhan ekonomi yang saat ini berjalan. "Inflasi relatif terkendalikan dengan suku bunga acuan. Tapi, resikonya di pelambatan ekonomi. Market dan daya beli masyarakat akan turun," ujarnya di Jakarta, Kamis (20/10).
Ajib melanjutkan, kenaikan suku bunga juga memiliki risiko pada potensi kenaikan kredit macet perbankan atau non performing loan (NPL). Namun, hal itu bisa dihindari asal pemerintah memberi kebijakan kelonggaran kredit. "Dalam bentuk perpanjangan restrukturisasi," imbuhnya.
Ke depan, dunia usaha berharap agar terjadi akselerasi belanja pemerintah untuk memberikan daya ungkit maksimal pada kuartal terakhir 2022 ini. "Tentunya juga ada pencapaian investasi sesuai target yang dicanangkan pemerintah," katanya. (han/dee/dio/jpg)