JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Penggerakan aparatur sipil negara (ASN) untuk kepentingan politik Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 perlu mendapat perhatian. Hasil analis Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menunjukkan bahwa sebagian besar kasus pelanggaran netralitas ASN selama ini berasal dari mobilisasi untuk dukungan politik.
Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar mengatakan, Bawaslu telah menganalisis motif pelanggaran netralitas ASN pada Pilkada tahun 2017-2018 lalu. Hasilnya, hanya 10 persen ASN yang mengaku mencoba-coba tidak netral dan 20 persen karena sengaja tidak netral. Sementara 70 lainnya terpaksa tidak netral karena ada mobilisasi dari pihak lain.
Salah satu modus yang biasa dilakukan untuk memobilisasi adalah melakukan pergantian jabatan dengan menempatkan orang-orang milik petahana jelang Pilkada. ”Ada yang diturunkan dari jabatan sekretaris daerah, ada kepala dinas yang diganti, dan sebagainya,” ujarnya kemarin (20/2).
Dia mengingatkan bahwa ketentuan terkait netralitas ASN sudah sangat jelas. Mulai dari ketentuan disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS), pembinaan jiwa korps dan kode etik PNS. Semua itu diatur dalam Pasal 4 ayat (15) Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010.
Dalam aturan tersebut, ASN dilarang memberi dukungan kepada calon kepala daerah. "Bentuknya, ikut kampanye, menggunakan fasilitas pemerintah untuk kampanye, membuat keputusan yang menguntungkan/merugikan salah satu Paslon, juga mengadakan kegiatan yang memihak salah satu Paslon," imbuhnya.
Selain itu, ada juga tujuh jenis larangan ASN yang termuat pada PP 42/2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS. Di antaranya, melakukan pendekatan politik agar dirinya dicalonkan.(jpg)