JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Proyek smelter di Indonesia didominasi oleh asing. Salah satunya smelter pada komoditas nikel yang didominasi sejumlah perusahaan asal Cina.
Terkait itu, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia membeberkan penyebab soal orang-orang di Indonesia yang tidak bisa memiliki smelter sendiri. Padahal soal nikel, Indonesia termasuk negara yang memiliki cadangan besar.
Bahlil menyebut, salah satu sebab yang krusial ialah perbankan. Di Indonesia, perbankan hanya mau membiayai jika pengusaha lokal mempunyai modal inti atau ekuitas di atas 30-40 persen.
Menurut Bahlil, idealnya perbankan nasional hanya mempersyaratkan ekuitas sekitar 10-20 persen. Sebab, kata dia, untuk membangun satu line itu butuh investasi sekitar 200-250 juta dolar AS. “Kalau sistem perbankan kita tidak memberikan kelonggaran kepada pengusaha-pengusaha nasional, khususnya yang pribumi, bagaimana bisa (mempunyai smelter),” kata Bahlil saat ditemui di kompleks parlemen, beberapa waktu lalu.
Ia mengungkap, ekuitas yang diberikan perbankan asing hanya sekitar 10 persen dengan bunga yang kecil. Oleh sebab itu, hilirisasi di Indonesia didominasi dikuasai asing. “Terus kita ribut, kenapa asing semua yang ambil bahan baku kita. Bos, mereka yang melakukan investasi, kita punya duit tapi kita bikin standby loan (SBL) untuk kredit konsumsi, bukan produktif,” ungkapnya.
Menurutnya ini masalah besar. ‘‘Saya sudah ngomong berkali-kali, selama ini tidak kita ubah, sampai ayam tumbuh gigi, kita tidak akan punya smelter di republik ini,” jelasnya.
Untuk diketahui, saat ini hilirisasi nikel sedang menjadi perhatian pemerintah sebab mampu menambah nilai ekspor nikel. Perihal ini sering disampaikan juga oleh Presiden dalam beberapa kesempatan.
Bahkan, Presiden menyebut berkat hilirisasi, ekspor bahan mentah nikel yang sebelumnya hanya bernilai 1,1 miliar dolar AS atau sekitar Rp20 triliun dalam setahun. Pada 2021 ekspor nikel Indonesia mencapai 20,8 miliar dolar AS atau sekitar Rp300 triliun dalam setahun.(jpg)