JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Peristiwa bentrok antara masyarakat dengan petugas keamanan di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau memantikperhatian dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Mereka mengingatkan supaya persoalan itu ditangani dengan cara-cara yang humanis dan persuasif. Apalagi Indonesia telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan lewat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998.
Wakil Ketua LPSK Maneger Nasution menyampaikan bahwa pihaknya sangat prihatin atas peristiwa yang terjadi di Pulau Rempang. Menurut dia, proyek sebesar Rempang Eco City mestinya dipersiapkan dengan matang. ”Dan menggunakan pendekatan yang humanis serta mengutamakan dialog atau partisipasi masyarakat setempat,” terang dia kepada awak media di Jakarta, Senin (18/9).
Tidak hanya di Pulau Rempang, Nasution menyebut, pihaknya juga mendapat laporan bentrok antara masyarakat dengan petugas keamanan terjadi di Kantor BP Batam. Dari bentrok tersebut, sedikitnya ada 43 orang yang diamankan oleh aparat kepolisian setempat. LPSK berharap besar proses hukum terhadap puluhan orang itu mengacu pada prinsip-prinsip fair trial.
Poin itu ditegaskan oleh Nasution lantaran LPSK menginginkan masyarakat yang ditangkap tetap mendapat hak perlindungan hukum. ”Tidak boleh dilakukan penahanan yang sengaja untuk menghalangi atau membatasi akses tahanan dengan dunia luar,” kata dia. Mereka tetap boleh mendapat akses kepada keluarga dan penasihat hukum masing-masing.
Lebih lanjut, Nasution menyampaikan bahwa pihaknya meminta aparat kepolisian menjalankan proses peradilan sesuai dengan prosedur. Mereka juga wajib menjamin perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) kepada masyarakat yang ditangkap pasca bentrok di Batam. ”Pendekatan persuasif penting diterapkan dalam penyelesaian kasus Rempang,” ujarnya.
Menurut Nasution, pendekatan restorative justice bisa menjadi salah satu opsi yang digunakan oleh aparat penegak hukum. ”Jika nantinya kasus tersebut tetap berproses dalam lingkup penegakan hukum,” kata dia. Terhadap masyarakat yang merasa perlu perlindungan dari negara, LPSK membuka diri. Nasution mempersilakan bila mereka ingin melapor dan meminta perlindungan.
Senada, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia memastikan hak-hak masyarakat Rempang terkait dengan pemindahan warga Pulau Rempang ke Pulau Galang, Batam, Kepulauan Riau. Merespons protes sebagian warga Rempang yang menolak pemindahan, Bahlil mengingatkan agar penanganan di lapangan harus dilakukan dengan cara-cara yang tidak menggunakan kekerasan.
“Proses penanganan rempang harus dilakukan dengan cara-cara yang soft, yang baik. Dan tetap kita memberikan penghargaan kepada masyarakat yang memang sudah secara turun-temurun berada di sana. Kita harus berkomunikasi dengan baik, sebagaimana layaknya lah. Kita ini kan sama-sama orang kampung. Jadi kita harus bicarakan,” ujar Bahlil.
Hal tersebut dikatakan Bahlil usai mengadakan Rapat Koordinasi Percepatan Pengembangan Investasi Ramah Lingkungan di Kawasan Pulau Rempang bersama pejabat terkait. Koordinasi itu dilakukan menindaklanjuti arahan Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan masalah di Pulau Rempang.
Pulau Rempang dengan luas mencapai 17 ribu hektare akan direvitalisasi menjadi sebuah kawasan yang mencakup sektor industri, perdagangan, hunian, dan pariwisata yang terintegrasi. Inisiatif itu bertujuan untuk meningkatkan daya saing Indonesia di kawasan Asia Tenggara. Untuk tahap awal, kawasan itu sudah diminati oleh perusahaan kaca terbesar di dunia asal Cina yakni Xinyi Group yang berencana akan berinvestasi senilai 11,5 miliar dolar AS atau setara Rp174 triliun sampai dengan 2080.
“Total area itu kan 17.000 (hektare) tapi dari 17.000 (hektare) lebih itu kan ada sekitar 10.000 hektare itu kawasan hutan lindung yang nggak bisa kita apa-apain. Jadi areanya itu kurang lebih sekitar 7 ribu (hektare) yang bisa dikelola. Untuk kawasan industrinya, tahap pertama itu kita kurang lebih sekitar 2.000-2.500 hektare,” ungkap Bahlil.
Terkait dengan penyiapan lahan pergeseran pemukiman warga, Bahlil menyatakan bahwa pemerintah akan menyiapkan hunian baru untuk 700 KK yang terdampak pengembangan investasi di tahap pertama. Rumah tersebut akan dibangun dalam rentang waktu 6 sampai 7 bulan. Sementara menunggu waktu konstruksi, warga akan diberikan fasilitas berupa uang dan tempat tinggal sementara.
“Pertama, pemerintah telah menyiapkan tanah seluas 500 meter persegi per Kepala Keluarga. Kedua adalah rumah dengan tipe 45 yang nilainya kurang lebih sekitar Rp120 juta. Ketiga adalah uang tunggu transisi sampai dengan rumahnya jadi, per orang sebesar Rp1,2 juta dan biaya sewa rumah Rp1,2 juta. Termasuk juga dengan tanam tumbuh, keramba ikan, dan sampan di laut. Semua ini akan dihargai secara proporsional sesuai dengan mekanisme dan dasar perhitungannya. Jadi yakinlah bahwa kita pemerintah juga punya hati,” sambungnya.
Menteri ATR/Kepala BPN Hadi Tjahjanto menambahkan, akan langsung diberikan sertifikat hak milik (SHM) untuk tempat tinggal warga yang mengalami pergeseran dari 16 titik Kampung Tua Pulau Rempang. “ATR/BPN ingin langsung menyerahkan sertifikat. Jadi ketika sudah ditentukan di 16 titik, kita ingin menyerahkan sertifikat, sambil melakukan proses pembangunan dan diawasi oleh pemilik. Kami juga sudah sampaikan bahwa sertifikat itu agar disamakan dengan sertifikat 37 kampung tua yang sudah diserahkan, itu adalah dengan status SHM yang tidak boleh dijual, harus dimiliki oleh masyarakat yang terdampak tersebut,” jelas Hadi.
Di luar pemenuhan hak masyarakat yang harus terus dikedepankan, Bahlil juga menyebut bahwa rencana investasi di Rempang harus tetap berjalan demi kepentingan rakyat. Menurutnya, investasi tersebut diperlukan untuk menggerakkan roda ekonomi dan penyerapan tenaga kerja.
“Investasi itu bukan seperti menanam buah dari sebuah pohon. Kita ini berkompetisi. FDI (Foreign Direct Investment/Penanaman Modal Asing) global terbesar itu sekarang ada di negara tetangga, bukan di negara kita. Ini kita ingin merebut investasi untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Kalau kita tunggunya terlalu lama, emang dia mau tunggu kita. Kita butuh mereka tapi juga kita harus hargai yang di dalam,” tegas Bahlil.
Bahlil juga menyampaikan bahwa akan banyak kerugian yang akan dirasakan, baik dari segi pendapatan pemerintah maupun perekonomian masyarakat jika potensi investasi tersebut tidak berhasil direalisasikan. “Ini investasinya total Rp300 triliun lebih, tahap pertama itu Rp175 triliun. Kalau ini lepas, itu berarti potensi pendapatan asli daerah (PAD) dan penciptaan lapangan pekerjaan untuk saudara-saudara kita di sini itu akan hilang,” ujar Bahlil.
Ratusan masyarakat Dumai yang mengatasnamakan Aliansi Masyarakat Melayu Peduli Rempang dan Galang menggelar aksi damai sebagai wujud dukungan perjuangan masyarakat Rampang dan Galang dalam menjaga hak mereka.
Masyarakat Dumai yang berasal dari 57 organisasi Melayu ini menggelar aksi dan menyampaikan orasinya di Jalan Jenderal Sudirman, tepatnya di depan Kampoeng Kuliner Dumai, Senin (18/9) pagi.
Tidak hanya kalangan masyarakat, aksi demontrasi damai ini juga diikuti oleh kalangan mahasiswa Dumai dan gabungan BEM se-Dumai yang mengutuk aksi represif dari pihak pengamanan kepada masyarakat Rampang dan Galang.
Koordinator aksi, Agus S Salam meminta pemerintah agar dapat dengan segera menyelesaikan masalah ini agar tidak terjadi pemahaman baru tentang Rampang dan Galang. ‘’Kalau lama penyelesaian ini maka akan muncul pemahaman lain, konsep pembelaan masyarakat Melayu di Indonesia.
“Kami meminta Presiden Jokowi untuk mengeluarkan sertifikat kepada tanah pada 16 titik di Rampang dan Galang sebagaimana janji politiknya di tahun 2019 yang lalu,” ujar Agus.
Dikatakan Agus, Melayu tidak menolak investasi, namun investasi yang ada harus berpihak kepada masyarakat berkeadilan dan berwawasan lingkungan serta tidak melakukan penggusuran. “Masyarakat kampung tua jauh sebelum Indonesia ada mereka sudah lama tinggal di situ. Ini sebuah keniscayaan yang luar biasa yang kami lihat,” terang Agus.
Sementara itu salah seorang aksi massa, Darwis Muhammad Saleh mengatakan, selaku penerima penghargaan terbaik konservasi dari Pemerintah Republik Indonesia, dirinya siap mengembalikan penghargaan kalau memang relokasi tetap dipaksakan.
“Kalau relokasi 16 kampung tua di Rampang dan Galang ini tetap dipaksakan maka saya siap mengembalikan penghargaan yang saya dapat dari pemerintah. Saya akan menghadap langsung Presiden Jokowi terkait permasalahan ini,” ujarnya.
Sementara itu Kapolres Dumai, AKBP Dhovan Oktavianton mengatakan pihaknya mengapresiasi aksi demontrasi ini karena berjalan tertib dan sesuai dengan aturan yang ada. “Kami menerjunkan 200 personel dibantu 30 personel Satpol PP,” ujar AKBP Dhovan.
Solidaritas Nasional untuk Rempang menemukan delapan temuan terkait dampak kekerasan di Rempang pada 7 September. Pengerahan kekuatan negara berlebihan menimbulkan korban dari masyarakat. Teror warga juga berlangsung pascakekerasan akibat pemasangan patok tanah oleh BP Batam itu. “Setidaknya ada 20 korban dari masyarakat saat kekerasan pada 7 September lalu,” ucap peneliti KontraS Rozy Brilian usai menyampaikan hasil investigasi awal di Kantor YLBHI kemarin. Korban di antaranya anak-anak, lansia, dan warga.
Ada 10 murid dan satu di SMPN 22 Batam terdampak gas air mata. Mereka mengalami mengalami sesak dan mata perih usai terkena gas yang sempat terlontar dan menguar di depan sekolah. Solidaritas Nasional untuk Rempang juga menemukan bahwa proses pengamanan itu dilakukan secara serampangan. “Salah satunya kami menemukan bahwa ada guru yang berbicara lewat speaker ke aparat agar tak menembakkan gas air mata ke sekolah,” paparnya.
Ada pula warga yang terkena hantaman peluru karet yang ditembakkan oleh aparat. Warga tersebut, mendapatkan 12 jahitan di wajah. Hingga 13 September warga tersebut masih menjalani perawatan. Solidaritas gabungan dari sembilan organisasi itu menemukan ada pengerahan kekuatan berlebih oleh negara dalam kasus Rempang. Terbukti, dari hasil investigasi di lapangan terdapat pengerahan 60 kendaraan taktis. Sebanyak 1.010 aparat gabungan dari polisi, TNI, dan Satpol PP juga terkerahkan.
“Tidak hanya itu, nuansa teror juga tampak usai kekerasan pada 7 September terjadi,” katanya. Di antaranya dengan pendirian posko-posko yang diisi oleh aparat. Ada lima posko dan setiap posko ada 20-30 personel. Hasil investigasi menduga posko tersebut dibuat untuk sweeping warga dan orang yang masuk ke kawasan itu.
Staf Advokasi YLBHI Edy K Wahid meminta pemerintah bertanggung jawab dalam penanganan kekerasan aparat di Rempang. “Kami meminta mereka yang melanggar dikenakan hukuman pidana,” paparnya. Pihaknya juga meminta Komnas HAM segera turun tangan dalam proses kekerasan HAM yang terjadi di Rempang.(dee/elo/syn/(mx12/rpg)