GAZA (RIAUPOS.CO) - Hampir seluruh penduduk Gaza berisiko mengalami kelaparan, kecuali pengiriman bahan bakar kembali diizinkan dan terjadi pengiriman bantuan pangan yang pesat. Dilansir dari Arab News pada Jumat (17/11/2023), peringatan tersebut disampaikan oleh seorang pejabat dari Program Pangan Dunia (WFP) PBB pada hari Kamis (16/11).
PBB mengatakan 2,2 juta warga Palestina di wilayah Gaza saat ini membutuhkan bantuan makanan untuk dapat bertahan hidup. WFP menyebutkan bahwa musim dingin yang semakin dekat dan tempat penampungan yang tidak aman dan penuh sesak, serta kekurangan air bersih, maka masyarakat akan menghadapi kemungkinan musibah kelaparan.
“Runtuhnya rantai pasokan makanan adalah titik balik yang membawa bencana dalam situasi yang mengerikan. Gaza bukanlah tempat yang mudah untuk ditinggali sebelum tanggal (7/11), dan jika situasinya lebih baik sebelum konflik ini, maka kondisinya kini menjadi bencana,” kata Abeer Etefa, pejabat senior WFP untuk kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara.
Warga Palestina di Jalur Gaza semakin putus asa dalam upaya mereka untuk mendapatkan roti dan pasokan makanan penting lainnya. Kasus dehidrasi dan kekurangan gizi meningkat dengan cepat dari hari ke hari.
Meskipun truk-truk bantuan berdatangan ke Gaza, namun sulit untuk memberikan makanan dan air kepada mereka yang membutuhkan karena jalan-jalan telah rusak akibat perang dan pasokan bahan bakar sangat sedikit akibat blokade dari Israel.
Ada 130 toko roti di Gaza sebelum pecahnya konflik. Sebelas di antaranya diketahui terkena serangan udara. Yang lainnya tutup karena kehabisan bahan bakar. Akibatnya, persediaan roti yang menjadi makanan pokok warga Gaza semakin menipis.
WFP juga terpaksa menutup program lokal yang sejak awal perang telah menyediakan roti segar bagi 200.000 warga Palestina yang tinggal di tempat penampungan. Dengan terbatasnya pasokan gas dan listrik, Etefa mengatakan masyarakat membakar kayu untuk memasak atau membuat kue.
Pasar-pasar lokal telah tutup total. Hanya sekitar 25 persen toko-toko di Gaza yang tetap buka dan toko-toko yang memiliki stok sangat terbatas. Sedikitnya bantuan kemanusiaan yang tiba di Gaza tidak dapat menutupi kekurangan impor makanan komersial, kata Etefa.
Etefa menyerukan peningkatan jumlah truk yang membawa makanan ke Gaza dan pembukaan penyeberangan perbatasan tambahan. Selain itu, perlu adanya rute yang aman bagi pekerja kemanusiaan untuk mendistribusikan bantuan dan pengiriman bahan bakar ke toko roti sehingga mereka dapat melanjutkan produksi roti.
Juliette Touma dari Badan Bantuan dan Pekerjaan Pengungsi Palestina di Timur Dekat mengatakan tidak adanya bahan bakar untuk menggerakkan generator juga menyebabkan pemadaman komunikasi di Gaza.
“Sudah hampir enam minggu pengabaian total terhadap hukum humaniter internasional. Saat ini, Gaza terlihat seperti baru saja dilanda gempa bumi, padahal gempa itu disebabkan oleh ulah manusia dan hal ini sebenarnya bisa dihindari,” Touma mengungkapkan.
“Kami baru saja menyaksikan dalam seminggu terakhir perpindahan terbesar warga Palestina sejak tahun 1948. Ini adalah eksodus, di bawah pengawasan kami, orang-orang yang terpaksa meninggalkan rumah mereka. Beberapa terpaksa menghidupkan kembali trauma masa lalu yang tidak dapat dijalani, sebagian besar belum disembuhkan.”
Touma menambahkan bahwa martabat masyarakat telah dilucuti hanya dalam semalam. Anak-anak di tempat penampungan memohon seteguk air dan sepotong roti. Mereka berbagi satu toilet dengan ratusan orang lainnya.
“Gencatan senjata diperlukan sekarang jika kita ingin menyelamatkan apa pun yang tersisa dari kemanusiaan,” seru Juliette Touma.
Dia juga memohon agar bahan bakar dikirimkan sehingga operasi kemanusiaan di Jalur Gaza dapat kembali dilanjutkan.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Edwar Yaman