JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh mengapresiasi keputusan Mahkamah Agung (MA) yang menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar Umat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan.
Ia menilai aturan itu sangat tepat untuk memberikan kepastian hukum dalam perkawinan dan upaya menutup celah bagi pelaku perkawinan antar agama yang selama ini bermain-main dan berusaha mengakali hukum.
"Aturan ini wajib ditaati semua pihak, terutama bagi hakim yang selama ini tidak paham atau pura-pura tidak paham terhadap hukum perkawinan," kata Asrorun Niam Sholeh dalam keterangannya, Rabu (19/7/2023).
Niam menjelaskan, UU Perkawinan sudah secara rinci menjelaskan bahwa perkawinan itu sah, jika dilaksanakan sesuai dengan ajaran agama.
"Dengan demikian, peristiwa pernikahan itu pada hakekatnya adalah peristiwa keagamaan, dan egara hadir untuk mengadministrasikan peristiwa keagamaan tersebut agar tercapai kemaslahatan, dengan pencatatan," ucap Niam.
Ia menuturkan, pencatatan perkawinan itu merupakan wilayah administratif sebagai bukti keabsahan perkawinan.
"Kalau Islam menyatakan perkawinan beda agama tidak sah, maka tidak mungkin bisa dicatatkan," ujar profesor bidang fikih ini.
Namun, kata Niam, selama ini ada orang yang mengakali hukum dengan mengajukan penetapan putusan pengadilan, dengan dalih UU Administrasi Kependudukan memberi ruang. Namun, Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 secara jelas menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Ia mengungkapkan, Pasal 8 huruf f UU Perkawinan mengatur larangan perkawinan antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. Karena itu, Islam telah mengatur perkawinan beda agama itu terlarang.
"Jadi tidak ada celah untuk praktek perkawinan beda agama. Islam mengharamkan, dan UU melarang. SE ini menegaskan larangan tersebut untuk dijadkan panduan hakim. Karenanya pelaku, fasilitator, dan penganjur kawin beda agama adalah melanggar hukum", tegasnya.
MA sebelumnya menerbitkan Surat Edaran Nomor 2 tahun 2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim Dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antarumat yang Berbeda Agama dan Keyakinan. SEMA tersebut melarang semua pengadilan untuk mengabulkan pencatatan perkawinan beda agama dan keyakinan.
Aturan itu ditandatangani oleh Ketua MA Muhammad Syarifuddin pada Senin, 17 Juli 2023. SEMA Nomor 2/2023 ini memuat dua poin.
"Untuk memberikan kepastian dan kesatuan penerapan hukum dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan antarumat yang berbeda agama dan kepercayaan, para hakim harus berpedoman pada ketentuan," sebagaimana bunyi SEMA 2/2023, dikutip Rabu (19/7).
Dalam poin pertama, SEMA itu menyinggung ihwal perkawinan yang sah yang ditentukan dalam hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Sementara itu pada poin kedua disebutkan, para hakim harus berpedoman pada ketentuan pengadilan untuk tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antarumat yang berbeda agama dan kepercayaan.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Edwar Yaman