JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung menyampaikan kritikannya terkait larangan ekspor minyak goreng, CPO dan turunannya. Sebab, ini berdampak langsung kepada anjloknya harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di seluruh Indonesia, terutama sentra perkebunan kelapa sawit.
Kata dia kondisi saat ini sudah kritis, sebab dari 1.118 pabrik sawit se-Indonesia, paling tidak 25 persen telah menghentikan pembelian TBS sawit petani. Ini terjadi setelah harga TBS petani sudah anjlok 40-70 persen dari harga penetapan dinas perkebunan dan ini terjadi secara merata sejak larangan ekspor.
“Dampaknya luar biasa, telah mengganggu sendi-sendi ekonomi petani sawit dan rantai ekonomi nasional. Kami berpacu dengan waktu karena sudah rugi Rp11,7 triliun sampai akhir April lalu, termasuk hilangnya potensi pendapatan negara melalui Bea Keluar, terkhusus pungutan ekspor, di mana sejak Februari sampai April sudah hilang Rp3,5 triliun per bulannya,” ungkap Gulat kepada wartawan, Rabu (18/5/2022).
Semua permasalahan ini terjadi sejak adanya gangguan pasokan minyak goreng domestik dan harga minyak goreng curah yang tergolong mahal, padahal sudah disubsidi. Alhasil, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengambil kebijakan larangan ekspor CPO dan bahan baku minyak goreng sawit (MGS).
Terdapat lima pesan yang disampaikan kepada Presiden Jokowi. Pertama ,adalah agar Presiden Jokowi melindungi 16 juta petani sebagai dampak turunnya harga TBS sawit sebesar 70 persen di 22 provinsi sawit. Kedua, meminta Presiden untuk meninjau ulang kebijakan larangan ekspor sawit dan produk MGS serta bahan bakunya.
Ketiga, meminta Presiden Jokowi tidak hanya mensubsidi MGS curah, tapi juga MGS kemasan sederhana. Agar tidak gagal, pihaknya meminta jaringan distribusi MGS subsidi melibatkan TNI-Polri.
“Kami yakin pasti clear kalau TNI-Polri sudah dilibatkan. Contohnya saja program vaksin sukses dan cegah karhutla (kebakaran hutan dan lahan), hasilnya asap langsung hilang sejak 2015 sampai sekarang,” ujar dia.
Pesan selanjutnya adalah mendesak pemerintah membuat regulasi yang mempertegas pabrik kelapa sawit dan pabrik MGS harus 30 persen dikelola oleh koperasi untuk kebutuhan domestik. Sementara urusan ekspor diurus oleh perusahaan besar sehingga kelangkaan tidak terulang lagi.
Terakhir adalah meminta Presiden Jokowi untuk menginstruksikan Menteri Pertanian untuk merevisi Permentan 01/2018 tentang Tataniaga TBS (Penetapan Harga TBS), sebab harga yang diatur hanya ditujukan kepada petani yang bermitra dengan perusahaan. Padahal petani bermitra dengan perusahaan hanya 7 persen dari total luas perkebunan sawit rakyat (6,72 juta ha).
“Gak masuk akal yang 93 persen (petani swadaya) terabaikan haknya dalam harga TBS Disbun,” tegas Gulat.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Edwar yaman