JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) langsung melakukan kegiatan riset terkait penyakit hepatitis akut yang belum diketahui asalnya. Beberapa objek bakal mereka teliti, di antaranya adalah analisis molekuler sampai keragaman (diversitas) genetiknya.
Rencana riset tentang penyakit hepatitis akut itu disampaikan Kepala Organisasi Riset Kesehatan BRIN Ni Luh P Indi Dharmayanti. Dia mengatakan BRIN memiliki SDM andal dan fasilitas riset yang memadai. "Kami akan merespons dengan beberapa kegiatan riset terkait severe acute hepatitis, berkolaborasi dengan Kemenkes dan perguruan tinggi," katanya, Senin (16/5).
Indi lantas menjelaskan beberapa objek penelitian hepatitis akut yang akan mereka geber. Di antaranya adalah melakukan analisis molekuler serta diversitas genetik penyebab hepatitis akut tersebut. Kemudian juga melakukan penelitian tentang whole genome sequencing dari hepatitis akut tersebut. Selanjutnya penelitian tentang metagenomics pada darah dan jaringan serta pengembangan perangkat diagnostik.
"Selain itu juga dilakukan riset deteksi dini dan respons cepat terhadap penyakit ini," katanya. BRIN bersama instansi terkait juga bakal melakukan eksplorasi dan pengembangan bahan baku obat serta obat tradisional untuk hepatoprotektor. Lalu melakukan penegakan diagnostik serta pengembangan terapit termasuk uji klinik obat-obatan untuk penyakit hepatitis akut tersebut.
Kepala Pusat Riset Kedokteran Preklinik dan Klinis BRIN Harimat Hendarwan mengatakan hepatitis adalah peradangan pada hati. "Ketika hati mengalami peradangan atau kerusakan, maka fungsi hati tersebut dapat terganggu," tuturnya.
Seperti diketahui hati memiliki fungsi vital. Mulai dari memproses nutrisi, menyaring darah, detoksifikasi, sampai sintesa protein. Menurut Harimat sampai saat ini terdapat lima jenis virus hepatitis utama. Dikenal sebagai tipe A, B, C, D, dan E. Dia mengatakan kelima virus hepatitis ini mendapatkan perhatian yang besar. Karena memiliki pengaruh terhadap beban penyakit dan kematian. Selain itu juga memiliki potensi menjadi wabah dan penyebaran epidemi.
Dia menegaskan sampai saat ini belum diketahui dengan pasti penyebab dari kejadian hepatitis akut tersebut. Tetapi salah satu hipotesis yang sedang didalami adalah adanya keterkaitan dengan adenovirus. Harimat mengatakan Adenovirus adalah virus yang menyebabkan sakit mulai dari ringan sampai berat. Virus ini juga bisa menyebabkan peradangan pada lambung atau usus halus, mata merah, infeksi kandung kemih, hingga gangguan saraf atau neurological disease.
Adenovirus sering menular dari satu orang ke orang lainnya dengan menyentuh permukaan yang terkontaminasi. Untuk itu cara yang paling efektif menekan penularannya adalah dengan menerapkan pola hidup bersih dan sehat. Seperti mencuci tangan, khususnya pada anak-anak. Dia mengatakan untuk sementara anak-anak yang sedang sakit disarankan tinggal di rumah sampai gejalanya hilang dan dinyatakan sehat untuk bisa kembali bersekolah.
Pada kesempatan lain, akhir pekan lalu berlangsung 15th ASEAN Health Ministers Meeting (AHMM). Pada kesempatan tersebut, salah satu yang menjadi keputusan adalah pendirian Pusat Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan Penyakit Menular ASEAN atau ASEAN Center for Public Health Emergencies and Emerging Diseases (ACPHEED). "Intinya adalah pusat kerja sama ASEAN untuk menghadapi potensi adanya outbreak pandemi ke depannya," kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.
Menurutnya ada tiga pilar untuk membentuk ACPHEED. Yakni surveilans, deteksi, dan respons. Ada juga pilar manajemen risiko. Vietnam, Thailand, dan Indonesia sudah berkomitmen menjalankan tiga pilar tersebut. Sehingga tiga negara ini akan bekerja sama untuk mempersiapkan segalanya apabila ada potensi outbreak. Hal ini berlaku untuk seluruh negara di ASEAN. Kantor utama ada di Indonesia.
Adanya ACPHEED akan mengintegrasikan protokol kesehatan yang ada di negara-negara anggota ASEAN. "Kalau ada negara anggota ASEAN memiliki kasus pandemi yang sudah sangat turun, maka relaksasi dari prosesnya lebih tinggi dibandingkan negara lain yang kasusnya belum turun," ucap Budi.
Pengamat kesehatan Dicky Budiman menyatakan bahwa negara satu kawasan saling bersinergi merupakan hal positif. Bahkan hal ini seharusnya bisa dilakukan jauh-jauh hari sebelum pandemi Covid-19. "ASEAN ini tertinggal dalam penanganan Covid-19. ASEAN harus menyusun strategi bersama," katanya.
Dia membandingkan dengan Afrika yang memiliki organisasi penanganan penyakit menular. Menurutnya negara yang satu daratan atau bertetangga akan memiliki potensi penularan penyakit secara lebih cepat. "Adanya lembaga yang bisa memperkuat respons bersama itu penting sekali," bebernya.
Dengan adanya lembaga pengendalian penyakit yang berdiri di satu kawasan juga mempengaruhi hal di luar kesehatan. Misalnya terkait dampak ekonomi dan sosial akibat penyakit. Menurut Dicky dengan adanya lembaga semacam ini pemulihan akibat pandemi dapat dilakukan negara satu kawasan secara bersama-sama. "Saya sambut baik dengan organisasi ini dan harus konsisten," ujarnya.
Dia mengatakan, ASEAN memiliki kerentanan dalam emerging disease. Alasannya, masih banyak negara yang memiliki hutan tropis dan jumlah penduduk yang besar. "Kalau bicara potensi penyakit itu erat dengan mobilitas manusia," tuturnya.(wan/lyn/jpg)