JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) diminta segera mengubah skema pembiayaan haji. Dengan begitu, tidak mengorbankan syarat istitaah (kemampuan) finansial yang wajib dijalankan jemaah.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah Cholil Nafis menilai, dalam sistem haji saat ini ada unsur subsidinya. Padahal, untuk bisa berhaji, jemaah harus mampu secara finansial. Tidak boleh disubsidi atau dibantu oleh uang dari calon jemaah lainnya. ”Hilangkan subsidinya sama sekali. Karena orang haji itu bagi yang mampu,” tuturnya, kemarin (13/12/2022).
Dia menyebutkan, ketika ongkos haji Rp100 juta, jemaah harus membayar sejumlah itu. Tidak boleh dibantu atau disubsidi dari hasil pengelolaan dana haji calon jemaah yang belum berangkat atau di daftar antrean.
”Biarlah jemaah membayar biaya haji sepenuhnya,” katanya. Dengan demikian, aspek istitaah secara finansial tidak dilanggar.
Selain itu, Cholil Nafis menyampaikan, ketika biaya haji dinilai terlalu besar, penyelenggaraannya bisa dibuat lebih efektif. Misalnya, memangkas durasi tinggal dari sekarang sekitar 40-an hari menjadi 20 hari saja. Tinggal pengaturan penerbangannya dibuat lebih terbuka dan efektif sehingga bisa memberangkatkan banyak rombongan setiap hari.
Sorotan terhadap pengelolaan keuangan haji oleh BPKH juga disampaikan pengamat haji Ade Marfuddin. Dia mengatakan, haji merupakan ibadah personal, bukan ibadah kelompok. Karena itu, menurut dia, skema pemberian dana hasil pengelolaan kepada jemaah haji oleh BPKH saat ini tidak tepat.
”Seharusnya seperti Tabung Haji di Malaysia,” katanya tadi malam.
Ade mengatakan, di Tabung Haji Malaysia, uang hasil pengelolaan dana haji disalurkan secara detail untuk masing-masing jemaah calon haji.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Edwar Yaman