JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Kajian Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mendapat sorotan banyak pihak. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) termasuk salah satu pihak yang mengawal secara intens kerja-kerja Tim Kajian UU ITE. Harapannya tim bentukan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD itu sesuai keinginan masyarakat.
Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu menyatakan bahwa UU ITE sudah memakan banyak korban. Catatan yang dia pegang menyebut tidak kurang 768 kasus UU ITE muncul sejak 2016-2020. Dari angka itu sebagian besar merupakan kasus dengan pasal 27 ayat 3, 27 ayat 1, dan 28 ayat 2. Karena itu, meski UU ITE sudah direvisi 2016 lalu, dia berharap revisi total segera dilakukan.
"Meskipun telah dilakukan revisi, (UU ITE) dilihat di dalam penelitiannya masih memiliki banyak permasalahan," bebernya.
Pria yang biasa dipanggil Eras itu pun mencontohkan salah satu persoalan terkait UU ITE. Yakni rentan bagi perempuan. Dia menyampaikan keterangan itu berdasar kasus-kasus UU ITE yang menyeret perempuan seperti Prita Mulyasari dan Baiq Nuril.
"UU ITE jelas menempatkan perempuan pada posisi sangat rentan dan minim keadilan dalam penerapannya," terang dia.
Tidak hanya itu, ICJR menilai UU ITE sebagai instrumen hukum justru jadi masalah bagi prinsip-prinsip kebebasan berekspresi. Sebabnya tidak lain karena UU ITE tidak jarang digunakan untuk menyeret masyarakat yang menyampaikan kritik atau pandangan tertentu.
"Hasil riset dari ICJR mempertanyakan kembali keseimbangan antara pengaturan kebijakan pidana di dalam UU ITE dengan perlindungan kebebasan berpendapat dan berekspresi," jelasnya.
Kondisi semakin mengkhawatirkan lantaran jumlah kasus UU ITE sejak 2016-2020 yang berujung pada hukuman penjara mencapai 672 kasus. Angka itu menunjukkan betapa UU ITE kerap dipakai untuk memenjarakan. Riset yang dilakukan ICJR juga mendapati revisi UU ITE 2016 lalu tidak efektif.
"Bahwa revisi atas UU ITE di tahun 2016 lalu belum memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada pada UU ITE 2008," jelas Eras. "Revisi yang dilakukan belumlah tepat sasaran," tambahnya.
Menurut dia, pasal-pasal bermasalah dalam UU tersebut masih ada. Bukan hanya pasal karet, melainkan juga pasal yang menduplikasi ketentuan dalam KUHP. Eras pun menyebut, ancaman hukuman pidana yang di atur dalam UU ITE tidak setara dengan tingkat kejahatan. Dengan segala permasalahan yang ada dalam UU ITE, kata dia, pihaknya menyambut baik keputusan Presiden Joko Widodo membuka peluang dilakukannya revisi UU ITE tahun ini. Namun demikian, revisi atau tidak UU tersebut bergantung pada hasil kerja Tim Kajian UU ITE. Eras sebagai pimpinan di ICJR juga sudah menyampaikan masukannya kepada tim tersebut. Tentu saja dia berharap masukan itu bisa dilaksanakan.
Sementara itu, Ketua Tim Kajian UU ITE Sugeng Purnomo menyatakan bahwa timnya sudah menampung setiap masukan yang disampaikan oleh berbagai pihak. Baik pihak-pihak yang pernah berurusan langsung dengan UU ITE sebagai terlapor dan pelapor maupun pihak-pihak lainnya. Termasuk di antaranya para aktivis dan praktisi yang sehari-hari bersentuhan dengan UU ITE.
"Kami menghadirkan narasumber untuk kami dengar. Yang menjadi pemikiran narasumber kami catat dan nanti kami diskusikan," jelas dia.(syn/jpg)