JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Pemerintah berencana mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) barang keperluan pokok atau sembako, jasa pendidikan atau sekolah, dan jasa kesehatan. Usulan tersebut disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani kepada Komisi XI DPR RI, kemarin (13/9).
"Dikenakan PPN dengan tarif yang lebih rendah dari tarif normal," paparnya dalam rapat kerja.
Perempuan yang akrab disapa Ani itu mengatakan, bahwa pemerintah tetap membuka opsi bahwa barang dan jasa tersebut bisa tidak dipungut pajak. Selain itu, juga memberi kompensasi bagi masyarakat yang tidak mampu dengan subsidi. Kebijakan tersebut diberikan agar azas keadilan dapat diwujudkan. Namun, akan disesuaikan dengan melihat tingkat pendapatan dari berbagai kelompok masyarakat.
Untuk jasa pendidikan, kata Ani, hanya sekolah tertentu yang bakal dibanderol ZPPN. Misalnya, sekolah dengan bayaran mahal, lembaga pendidikan komersial yang tidak menyelenggarakan kurikulum minimal yang dipersyaratkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.
Dengan begitu, madrasah dan pendidikan lain yang bersifat nonkomersial sudah pasti terbebas dari tarif PPN.
"Ini beda antara jasa pendidikan yang diberikan secara masif oleh pemerintah maupun oleh lembaga sosial lain dibandingkan lembaga pendidikan yang mematok SPP luar biasa tinggi," jelas mantan direktur pelaksana Bank Dunia tersebut.
Oleh karena itu, untuk sekolah atau lembaga pendidikan dengan biaya pendidikan standar, madrasah untuk masyarakat menengah ke bawah dipastikan tidak dikenakan skema PPN. Ani menegaskan, skema pengenaan PPN jasa pendidikan dirancang agar tidak membebani masyarakat berpenghasilan rendah. Apalagi di tengah kondisi pandemi Covid-19 saat ini.
Rencana tersebut diatur dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) perubahan kelima atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan. Beleid tersebut tengah dibahas oleh Kemenkeu bersama panitia kerja (Panja) Komisi XI DPR RI. Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu berencana mematok tarif PPN atas jasa pendidikan sebesar 7 persen. Selain itu, mengusulkan kebijakan PPN multitarif. Rencananya, tarif umum PPN akan naik dari 10 persen menjadi 12 persen. Untuk skema multitarif dengan kisaran 5 persen sampai 25 persen pada barang dan jasa.
Ani juga mengusulkan kemudahan dan penyederhanaan PPN untuk barang dan jasa kena pajak (BKP/JKP) dengan tarif tertentu. Dihitung dari peredaran usaha dengan besaran tarif lebih rendah dari 5 persen. Sedangkan, untuk fasilitas yang tidak dipungut PPN atas barang dan jasa tertentu dilakukan agar mendorong ekspor di dalam dan luar kawasan tertentu serta hilirisasi sumber daya alam. Untuk fasilitas PPN dibebaskan atas pajak strategis diubah menjadi fasilitas PPN tidak dipungut melalui kelaziman serta perjanjian internasional.
Ani menyebut, pengenaan PPN barang keperluan pokok itu bersifat terbatas. Hanya akan dikenakan untuk barang keperluan pokok tertentu yang dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi. Pemerintah akan membuat aturan pelaksananya untuk mengatur kriteria PPN atas kebutuhan pokok setelah RUU tersebut diundangkan.
"Misalnya, untuk beras atau daging berkualitas khusus yang biasanya berharga mahal," ungkapnya.
Anggota Komisi XI DPR RI dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ecky Awal Muharam menolak pajak pertambahan nilai (PPN) barang kebutuhan pokok atau sembako, jasa pendidikan atau sekolah, dan jasa kesehatan. Sebab, saat ini bukan waktu yang tepat untuk mengenakan pajak untuk kebutuhan penting bagi masyarakat. Mengingat, kondisi ekonomi masyarakat masih tertekan akibat pandemi Covid-19.
"Kami dengan tegas tidak bisa menerima pengenaan PPN atas kebutuhan pokok mendasar. Nggak dikenakan PPN atau dikecualikan," ujar Ecky.(han/jpg)