JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- PERUBAHAN regulasi pilkada pascaputusan Mahkamah Konstitusi harus segera dilakukan. Tidak hanya sekadar mengadopsi putusan, namun, juga membuat terobosan hukum yang masih berkaitan dengan putusan MK. Yakni, mencegah calon koruptor ikut berkontestasi.
Disampaikan Direktur eksekutif perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, Kamis (12/12). Menanggapi putusan MK tentang eks terpidana menurutnya, MK sudah menunjukkan perannya dalam menjaga kualitas demokrasi Indonesia. Kini, langkah pencegahan serupa yang progresif juga harus dilakukan penyelenggara pilkada.
Langkah pertama tentu saja merevisi peraturan KPU nomor 18 Tahun 2019 tentang pencalonan Pilkada. Menyesuaikan materi putusan yang dikeluarkan MK. "Revisi peraturan ini penting segera dilakukan, agar mekanisme teknis pencalonan lebih pasti," terangnya.
Revisi tersebut, lanjut Titi, jangan hanya terbatas pada putusan MK. "Harus ada aturan yang memungkinkan partai politik melakukan penggantian atas calon yang terkena OTT KPK," lanjutnya.
OTT katanya membuat calon kepala daerah tidak bisa melaksanakan kewajibannya untuk berkampanye sebagai bagian pendidikan politik. Sebab, dia sudah pasti masuk penjara setelah di-OTT. Sehingga, proses pencalonannya tentu tidak bisa lagi dilanjutkan sampai ajang pilkada selesai. Titi mencontohkan sejumlah kasus yang terjadi di pilkada 2018. Ada sembilan calon kepala daerah berstatus petahana yang terkena OTT KPK. Mereka berasal dari Sultra, Maluku Utara, Lampung tengah, Subang, Tulungagung, Jombang, Ngada, dan Malang. "Sangat disayangkan mereka tidak bisa diganti karena PKPU tidak memungkinkan," tuturnya.
Bahkan, dari sembilan tersangka, dua di antaranya ternyata memenangi pilkada. yakni Ahmad Hidayat Mus di Maluku Utara dan Syahri Mulyo di Tulungagung. Padahal, saat memenagi pilkada, mereka sedang mendekam di tahanan KPK. Dampaknya, begitu dilantik, mereka langsung dinonaktifkan dan tidak bisa memimpin daerahnya.
Pengaturan senada juga bisa dilakukan untuk tahapan lainnya. untuk tahapan kampanye misalnya, KPU bisa membuat PKPU yang memungkinkan publikasi status mantan terpidana bisa lebih maksimal. Misalnya pencantuman status secara lengkap di setiap dokumen yang terkait dengan calon.
Selain itu, juga membuat aturan yang memungkinkan publikasi dilakukan di TPS. "Selama ini di setiap TPS selalu diumumkan profil calon yang berkontestasi di pilkada," tambahnya. Namun, status sebagai mantan terpidana tidak disebutkan secara mendetail.
Terpisah, Plt Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum kemendagri Bahtiar menghormati putusan MK yang menunda hak politik eks terpidana di pilkada. "Bagi pemerintah, itu putusan final dan mengikat. Apapun hasilnya ya kami patuhi," terangnya di Jakarta kemarin.
Ia mempersilakan KPU untuk segera menyesuaikan aturan main pilkada dengan merujuk putusan tersebut. Sehingga, ada waktu bagi kandidat untuk menyesuaikan diri dengan regulasi.(byu/deb/jpg/egp)
Laporan JPG, Jakarta