JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang menyesalkan informasi penggeledahan kasus pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR periode 2019-2024 telah diketahui terlebih dahulu. Kondisi ini terjadi karena upaya geladah harus mendapat izin Dewan Pengawas (Dewas) KPK, sesuai aturan UU Nomor 19/2019 tentang KPK.
"Itu sebabnya kenapa membangun peradaban hukum itu harus dengan hati tenang, jangan grusa grusuk, lihat ke belakang, lihat jauh ke depan (the Art of long view) yang kemudian dibungkus untuk kebermanfaatan yang berkeadilan. Itu bisa diciptakan karena jauh dari konflik kelompok," kata Saut kepada JawaPos.com, Ahad (12/1).
Saut menyampaikan, seharusnya dalam proses revisi UU Nomor 30/2002 perlu naskah akademik sebagai acuan. Sehingga bisa membedah unsur pasal di dalamnya.
"Harus dibedah berulang ulang, namanya juga penyakit kronis," sesal Saut.
Saut juga memandang, pembedahan naskah akademik diperlukan agar memberikan hukum yang berkeadilan. Terlebih kinerja operasi tangkap tangan (OTT) memerlukan mekanisme kinerja intelijen, seperti penyadapan, penyitaan, penggeledahan hingga penyidikan.
"Filosofi OTT itu beda, kalau tidak, ya KUHAP kita ubah dulu, hapus pengertian dan sifat tangkap tangan itu," jelasnya.
Sebelumnya, Dewan Pengawas KPK Syamsudin Haris menyebut, pihaknya telah memberikan izin penyidik KPK untuk melakukan proses penggeledahan kasus yang menyeret Komisioner KPU Wahyu Setiawan dan politikus PDI Perjuangan Harun Masiku. Menurutnya, pengajuan izin penggeledahan kasus KPU baru meminta izin pada Jumat (10/1), padahal Dewas sudah menunggu sejak Kamis (9/1).
"Malam itu juga Dewas memberi izin geledah dan sita terkait kasus komisioner KPU, dan Dewas sudah menunggu datangnya permintaan izin pada Kamis (9/1)," ungkap Haris.
Haris menegaskan, pada prinsipnya Dewas tidak akan pernah menghambat kinerja KPK. Kendati demikian hingga kini belum tahu tempat mana saja yang akan digeledah KPK.
Dalam perkara ini, KPK menetapkan empat orang sebagai tersangka. Mereka yakni Komisioner KPU Wahyu Setiawan, Agustiani Tio Fridelina selaku mantan anggota Badan Pengawas Pemilu sekaligus orang kepercayaan Wahyu, Harun Masiku selaku caleg DPR RI fraksi PDIP dan Saeful.
KPK menduga Wahyu bersama Agustiani Tio Fridelina diduga menerima suap dari Harun dan Saeful. Suap dengan total Rp900 juta itu diduga diberikan kepada Wahyu agar Harun dapat ditetapkan oleh KPU sebagai anggota DPR RI menggantikan caleg terpilih dari PDIP atas nama Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia pada Maret 2019 lalu.
Atas perbuatannya, Wahyu dan Agustiani Tio yang ditetapkan sebagai tersangka penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 Ayat (1) huruf a atau Pasal 12 Ayat (1) huruf b atau Pasal 11 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara itu, Harun dan Saeful yang ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap disangkakan dengan Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 5 Ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sumber : Jawapos.com
Editor : Rinaldi