Harga Daging Sapi Beku Naik 30 Persen
Kekosongan daging sapi segar di Pekanbaru berdampak pada melambungnya harga daging sapi beku di pasaran. Saat ini, daging sapi beku harganya melambung hingga 30 persen. Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian (DPP) Kota Pekanbaru Ingot Ahmad Hutasuhut kepada Riau Pos, Senin (28/3), mengatakan distributor saat ini tidak mau menjual daging karena pasokan yang tak tersedia.
"Hari ini (kemarin, red) pedagang, sub distributor tidak mau jualan karena dapat pasokan nya susah, kalaupun ada harga sudah tinggi," jelasnya.
Di pasaran, untuk daging sapi beku sudah menyentuh Rp140 ribu di tingkat pengecer. "Untuk daging beku saja, pengecer Rp140 ribu per kilogram. Itu sudah naik sekitar 30 persen, " ujarnya.
Apa langkah intervensi pasar agar harga turun dan pasokan tersedia? "Untuk pasar murah, kami sudah koordinasikan dengan bulog. Mereka akan adakan langsung. Mereka tidak lewat penyalur. Dari kemarin sudah mulai," ujarnya
Sementara itu, Ekonom Senior Universitas Riau Dr Edyanus Herman Halim menyebut, kelangkaan daging sapi dan melonjaknya harga pada momen-momen tertentu, dikarenakan Provinsi Riau tidak mampu memenuhi sendiri kebutuhannya. Riau tidak memiliki peternakan kelas industri, hingga pasokan sangat bergantung suplai luar daerah maupun impor.
Hal ini menurut Edyanus, sudah menjadi risiko yang harus ditanggung. Dengan kondisi demikian, kata Edyanus, pemerintah seharusnya lebih sigap melakukan antisipasi dengan mengatur suplai hingga jalur distribusi pasokan. Tidak hanya daging, ini berlaku untuk kebutuhan pangan yang masih mengandalkan suplai dari luar, baik itu dari luar daerah Riau maupun impor dari luar negeri. Dengan suplai dan distribusi terjaga, kelangkaan maupun kenaikan harga secara signifikan dapat ditekan.
"Pemerintah harus bekerja bagaimana mengatasi ini. Harus ada mapping, pemetaan berapa keperluan daging sapi di daerah, katakanlah per bulan atau per tahun. Berapa kuota impor harus dilihat, suplai dan keperluan juga harus tahu. Pemerintah harus buat keseimbangan antara pasokan dan keperluan," kata Edyanus.
Dalam jangka panjang, lanjut Edyanus, pemerintah harus terus mendorong peningkatan produksi dalam negeri atau dari dalam daerah sendiri. Setidaknya untuk mengurangi ketergantungan. Maka pada saat momen kenaikan, yang sudah terjadi seperti siklus tahunan, pemerintah tinggal menjaga jalur distribusi agar tidak terjadi permainan oleh spekulan.
"Pemerintah perlu memikirkan peternakan menuju industri. Selama ini kan kita di Riau hanya ada peternak tradisional. Misalnya, kita bisa belajar seperti di Sumatera Barat dengan Padang Mangateh-nya. Lalu sekarang malah di Lampung mereka sudah siapkan lahan khusus untuk rumput gajah untuk makanan ternak. Riau harus berpikir ke arah sana," terangnya.
Edyanus mengakui masih rendahnya minat investor untuk terjun di bidang peternakan sapi di Riau. Hal ini menurutnya harus dilakukan kajian khusus. Apalagi bila pemerintah serius ingin menghadirkan peternakan berbasis industri di Provinsi Riau.
"Riau masih berpeluang menumbuhkan pangan ternak untuk persiapan industri peternakan. Ini tentu harus dibuat kebijakan khusus. Misalnya, ada wilayah-wilayah tertentu harus dijaga agar tak dijadikan perkebunan sawit, hingga bisa dikembangkan sebagai sumber makanan ternak," ungkapnya.
Kajian khusus ini menurut Edyanus menjadi penting. Karena dalam melakukan pengembangan perekonomian, harus diketahui karakteristik keunggulan komparatif antar berbagai macam bentuk industri yang akan dibangun. Dirinya merujuk pada perkebunan kelapa sawit yang terbukti, sejauh ini, yang paling menguntung di Riau.
Hanya saja, bila industri perkebunan saja yang berkembang, maka risikonya Riau akan selalu mengalami fluktuasi harga di luar kendali akan terus terjadi. Hal ini sangat merugikan masyarakat sebagai konsumen. Karena keperluan terus meningkat seiring terus tumbuhnya jumlah penduduk di Provinsi Riau.(sol/ali/end/das)
Laporan TIM RIAU POS, Pekanbaru