Waktu itu Chin Chin-Gunawan masih menempati satu kamar di rumah mertua, Jalan Tidar, Surabaya. Sampai pun punya anak tiga, mereka masih tinggal di satu kamar itu. Dia dan suami di ranjang sini, tiga anak kecilnya di ranjang besar sebelah sana. Kamar sebelah itu adalah bekas kamar kakak Gunawan. Di situlah Chin Chin menjalani hukuman. Anaknya sesekali masuk kamar itu, membawa makanan.
Mereka bertiga tahu persis bagaimana sang ibu diperlakukan. Gunawan selalu memaki istri di kamar-bersama itu. Anak yang paling besar, wanita, suatu kali minta ke Chin Chin untuk bercerai saja. Sering juga, kata Chin Chin, Gunawan marah tanpa sebab. Alasannya, Chin Chin itu sebagai wanita suka membantah. Tidak seperti Wawa –Gunawan menyebut nama wanita yang gagal dikawininya dulu itu. Tidak hanya sekali itu. Begitu sering. Disaksikan anak-anaknya.
Suatu malam Chin Chin memberanikan diri mengajukan keinginan cerai saja. Gunawan tambah marah. Ia tidak mau cerai. Tapi, Chin Chin harus nurut –seperti wanita itu. Lain malam lagi Chin Chin diminta menulis surat pernyataan. Isinya belasan pointer. Misalnya: tidak akan pernah membantah lagi, bisa baik seperti wanita itu, mengaku saja waktu kawin dulu tidak membawa harta apa-apa, harus mengaku dia hanya karyawan suaminya itu.
Chin Chin pun menuliskan semua itu sambil berdiri menghadap pintu. Gunawan mendiktekan kata-kata itu sambil tiduran di ranjang. Anak-anaknya tidur atau pura-pura tidur. Kadang Gunawan minta mencoret kata-kata yang dianggap kurang tepat. Untuk diganti kata yang lain. Chin Chin tidak mau menandatanganinya. Di serial tahun lalu saya menceritakannya secara detail. Dramatik sekali. Tapi, semua itu sudah lewat.
Saat diadili dulu Chin Chin punya pembela yang hebat sekali. Nama pengacara itu: Janice. Umur: 13 tahun –waktu itu. Itulah anak Chin Chin yang luar biasa. Janice menulis surat kepada hakim. Isinya: cerita yang dia lihat di rumah tangga itu. Suratnya dalam bahasa Inggris –dilampiri terjemahannya oleh lembaga penerjemah bahasa Indonesia. Janice tidak yakin bisa menulis benar dalam bahasa Indonesia. Janice sekolah di Surabaya International School.
Syukurlah akhirnya semua itu selesai dengan baik. Saya ikut senang dan bahagia. Menurut saya, itulah yang terbaik bagi mereka. Saya belum pernah menemukan pertengkaran suami istri lebih seru dari itu. Sebenarnya saya masih menginginkan agar keduanya kembali menjadi suami istri. Pasangan tersebut, dalam bisnis, luar biasa. Saya mengaguminya.
“Kalau kembali, tidak mungkin lah,” ujar Chin Chin. “Ini sudah yang terbaik. Justru dengan begini, saya sekarang bisa berteman dengan Gunawan,” ujar Chin Chin. Sudah bertahun-tahun Chin Chin tidak bisa bertemu Gunawan. Sekarang malah bisa bertemu. “Ia kan ayah anak-anak kami,” ujar Chin Chin. Begitulah.
“Tapi, sekarang Chin Chin kan punya bisnis ballroom di Surabaya Barat. Anda menjadi pesaing Gunawan,” kata saya. “Sama sekali tidak bersaing. Beda kelas. Beda wilayah. Justru saya bisa bantu-bantu Gunawan. Saya akan bantu meramaikan Empire Palace,” ujar Chin Chin.
Chin Chin memang dapat bagian semua bisnis di luar Empire Palace: ruko di banyak lokasi dan perumahan di Sidoarjo. Semasa dalam pertengkaran yang panjang, Chin Chin sudah pisah rumah. Lalu, sambil menghadapi banyak perkara, dia mengelola ballroom yang besar di kompleks Unesa. Yang desain interiornya dia buat bergaya Maroko dan Cina.
Kini Gunawan (53 tahun) dan Chin Chin (51 tahun) masing-masing bisa fokus ke bisnis mereka sendiri-sendiri. Gunawan juga bisa kembali menikmati suara Rhoma Irama –yang dulu selalu ada di mobil Mercy-nya. Entah siapa yang bisnisnya akan lebih besar –dalam 20 tahun ke depan.
Anak kedua Chin Chin kini sudah kembali sekolah di Singapura. Anak bungsu mereka juga sudah kembali ke Amerika Serikat, sekolah di sana. Janice, si pengacara, kini masih di Surabaya –menunggu kapan bisa kembali ke New York, meneruskan kuliah di sana.***