Semua aspek kehidupan suami istri tersebut dramatik. Chin Chin –nama di paspornya Trisulowati– lulus terbaik SMAN I Blitar. Ingin jadi dokter. Dia gagal tes masuk di Unair. Lalu, kuliah di Petra, mengikuti jejak kakak laki-lakinya. Chin Chin lulus jadi arsitek. Kakaknya lebih dulu lulus di teknik sipil.
Sambil kuliah, Chin Chin mengerjakan apa saja: memberikan les privat. Di mata pelajaran apa saja: matematika, biologi, bahasa Inggris, bahkan bahasa Jawa. Justru bahasa Mandarin yang dia tidak bisa. Setelah lulus jadi arsitek, Chin Chin bekerja di Jakarta. Di Grup Duta. Yang punya real estate di Karawang.
Chin Chin mendesain semua rumah dan ruko di perusahaan itu. Lalu, mengawasi pembangunannya. Juga me-marketing-kannya. Dua tahun di Jakarta, Chin Chin menguasai urusan real estate. Dari A sampai Z. Dia pekerja keras. Dia tenggelam di situ. Sampai pacarnya yang di Surabaya meninggalkannya. Jomblo lagi. Lama.
Ketika terus ditanya soal kawin oleh mamanya yang di Blitar, Chin Chin akhirnya bertekad ini: dia akan kawin dengan siapa saja yang pertama datang melamarnya. Siapa pun ia. Pada saat dia mengucapkan itu, di Surabaya ada peristiwa cinta yang lain. Gunawan akan melangsungkan perkawinan dengan gadis idamannya. Tanggal perkawinan pun sudah ditetapkan. Tempat perkawinannya sudah dipilih: Hotel JW Marriott. Bintang lima. Undangan sudah diedarkan.
Perkawinan itu batal. Mendadak. Tidak ada kata sepakat soal agama. Ibunda Gunawan menghendaki calon menantunya itu ikut agama Gunawan: ke kelenteng. Namun, sang calon menantu tidak mau meninggalkan gereja Katolik. Gunawan kembali jomblo.
Teman Gunawan lantas menghubungkannya ke Chin Chin. Gunawan sangat aktif ke kelenteng. Banyak persoalan ditanyakan di situ. Termasuk kapan waktu terbaiknya untuk kawin. Jawabnya: tahun itu. Maka, begitu dipertemukan dengan Chin Chin, keputusan diambil. Mereka kawin.
Selama itu Gunawan bekerja pada ibunya: menjadi direktur di perusahaan tenaga kerja. Perusahaan milik ibunya itulah yang banyak mengirim tenaga kerja ke Hongkong, Taiwan, dan Malaysia. Begitu kawin, Chin Chin sempat tinggal lama di rumah mertuanya itu. Ikut bantu-bantu perusahaan tenaga kerja itu.
Suatu saat suami istri tersebut membicarakan perlunya punya usaha sendiri. Chin Chin mengusulkan membangun ruko. Dia menguasai bidang itu. Mereka pun sepakat membeli tanah di Kedungsari, pusat Kota Surabaya. Begitu uang muka tanah itu dibayarkan, gambar ruko itu sudah jadi. Chin Chin sendiri yang mendesainnya. Hemat.
Gambar itulah yang dijual. Chin Chin tahu cara menjual ruko –pun ketika masih berbentuk gambar. Terjual habis, 28 ruko. Hanya sisa dua untuk dia tempati sendiri. Sebagai kantor. Dan sebagai simpanan masa depan. Dari penjualan gambar itu, tanah bisa dilunasi. Chin Chin minta kakaknya yang lulusan teknik sipil untuk membangun ruko itu. Tanpa kontraktor. Hemat sekali lagi. Chin Chin yang bertindak sebagai pengawas bangunan.
Mereka pun membeli tanah lagi. Kali ini di Jalan Kendungdoro. Dengan cara yang sama. Lebih besar. Lebih cepat laku. Lalu, membeli tanah di Jakarta. Sekaligus dua lokasi. Dengan cara yang sama. Laris juga. Siang malam Chin Chin bergelut dengan bisnisnya. Gunawan menjadi pimpinan. “Gunawan itu pinter dan cerdas. Cepat sekali belajar,” ujar Chin Chin. “Kalau kami mau membeli tanah, pasti kami lihat dulu berdua. Lalu, Gunawan datang lagi beberapa kali memikirkannya. Gunawan juga yang kemudian melakukan transaksi dengan pemilik tanah,” tambah Chin Chin.
Dalam menjalankan bisnis real estate, Chin Chin merasa sangat pas berpasangan dengan Gunawan. Bisnis mereka berkembang ke mana-mana. Terutama di Surabaya dan Sidoarjo –tetangga Surabaya. Termasuk kemudian ke Empire Palace yang bergengsi itu.
Keserasian di bisnis itu tidak paralel di rumah tangga. Chin Chin terus-menerus jadi korban pemukulan oleh Gunawan. Chin Chin tidak pernah melawan. “Saya harus tahu mengapa ayah saya memberi nama saya Trisulowati,” ujar Chin Chin. Wanita itu, katanya, harus bisa jaga diri, jaga martabat keluarga, dan tunduk pada suami.
Sang ayah adalah pengusaha ternama untuk ukuran Blitar. Di masa lalu yang jauh. Ia kenal banyak menteri. Juga, akrab dengan keluarga Bung Karno di Blitar. Ia sudah punya banyak mobil ketika di Blitar nyaris belum ada mobil. Awalnya sang ayah memanggil Trisulowati dengan panggilan Chin Shing –bintang yang bersinar. Lalu, jadi Chin Chin –bersinar dan terus bersinar.
Tapi, pemukulan demi pemukulan tidak pernah berhenti. Chin Chin hanya bisa curhat ke mertua laki-laki. Tapi, tidak pernah menjadi lebih baik. Suatu malam Chin Chin pulang pukul 23.00. Dari proyek. Itu bukan barang baru. Dia bisa sepanjang malam menggambar proyek. Hatinya berkobar kalau lagi menangani proyek.
Malam itu Chin Chin disetrap harus berdiri satu malam suntuk. Berdirinya harus menghadap pintu keluar kamar yang tertutup. Chin Chin berusaha sesekali duduk –kalau dia lirik Gunawan sedang jatuh tertidur. Tapi, Gunawan sering terbangun. Besoknya Chin Chin memberanikan diri minta agar bisa menjalani hukuman dalam bentuk lain. Yakni, tidak keluar kamar selama tiga hari, tapi di kamar sebelah yang kosong.