PEMERINTAH PERCAYA DIRI KARENA 80 PERSEN WARGA MILIKI ANTIBODI COVID-19

Road Map Menuju Endemi Disusun

Nasional | Rabu, 09 Maret 2022 - 09:30 WIB

Road Map Menuju Endemi Disusun
Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo menyaksikan vaksinasi Covid-19 serentak di Gelanggang Olahraga Remaja Radio Dalam, Jakarta Selatan, Selasa (8/3/2022). Vaksinasi tersebut serentak digelar di seluruh Indonesia yang diselenggarakan oleh Polri dengan target penyuntikan 1.114.750 dosis. (FEDRIK TARIGAN/JPG)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Meski syarat perjalanan di saat pandemi Covid-19 telah dilonggarkan, pemerintah masih mencari cara terbaik untuk menuju endemi. Covid-19 sudah dua tahun berada di negeri ini. Keseimbangan antara penanganan kesehatan dan sektor lain harus berjalan seimbang.

Hal tersebut dipaparkan Juru Bicara Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi kemarin (8/3) saat melakukan konferensi pers terkait perkembangan Covid-19. Salah satu yang dilakukan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, adalah menyusun road map atau peta jalan menuju endemi Covid-19. Nadia menjelaskan bahwa semua harus dipastikan on track.


”Sebelum endemi, kita harus melalui pengendalian pandemi dan praendemi,” ungkapnya.

Ada beberapa indikator untuk menuju endemi Covid-19. Pertama, harus terjadi transmisi komunitas harus pada level 1. Artinya per 100.000 penduduk, kasus yang konfirmasinya di bawah 20 orang. Indikator lainnya adalah cakupan vaksinasi mencapai 70 persen dari populasi serta testing dan tracing yang sesuai dengan ketentuan. Pelonggaran aktivitas saat Covid-19 akan terus ditinjau. Tidak serta merta langsung bebas. Nadia mencontohkan saat Ramadan, jika situasi tetap terkendali maka salat berjamaah di masjid tidak perlu jaga jarak. Masyarakat cukup diminta untuk membawa sajadah masing-masing. Pelonggaran aktivitas ini harus dilakukan bertahap.

”Akan terus dicari keseimbangan antara kesehatan dan non kesehatan,” ungkapnya.

Dia juga mengomentari pelonggaran aktivitas yang terbaru. Contohnya yang tertuang dalam Surat Edaran Satgas no 11 Tahun 2022 tentang syarat perjalanan domestik yang menghapuskan syarat antigen dan PCR untuk mereka yang sudah vaksin lengkap atau booster. Menurut Nadia penghapusan ini salah satunya dilandasi vaksinasi Covid-19 yang cukup merata.

“Yang belum vaksin masih harus menyertakan hasil skrining,” ucapnya.

Selain itu, Kementerian Kesehatan melakukan survey bahwa 80 persen penduduk Indonesia sudah memiliki antibodi untuk memproteksi dari SARS CoV-2. Nadia menyatakan bahwa mereka yang sudah vaksin memperkecil penularan Covid-19. Apalagi ditambah dengan penerapan protokol kesehatanyang ketat.

”Kita tidak mungkin menolkan kasus Covid-10. Yang terpenting kalau ada peningkatan tidak membebani layanan kesehatan,” katanya.

Adanya Son of Omicron atau BA.2 juga tidak terlalu dikahawatirkan. Belajar dari banyak negara yang melaporkan adanya paparan varian itu, tidak ada lonjakan kasus. Lagi-lagi dia menekankan pentingnya vaksinasi untuk menanggulangi adanya varian-varian anyar. Bahkan Nadia sempat berucap bahwa para ahli memprediksi jika varian omicron bisa jadi varian terakhir dari Covid-19.

Pemerintah sepertinya mulai bersiap mengubah status pandemi Covid-19 menuju status endemi. Ini terlihat dari sejumlah kebijakan yang tengah diterapkan saat ini. Salah satunya, pengurangan masa karantina bagi jamaah umrah dan pelaku perjalanan luar negeri (PPLN).

Menurut Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman, saat ini kasus infeksi Covid-19 dari luar negeri memang lebih sedikit dibanding dalam negeri. Diperkirakan, hanya sekitar 1 persen ppln yang terdeteksi positif Covid-19  di pintu masuk.

Hal itu yang membuat pemerintah percaya diri untuk melonggarkan karantina. Terlebih, vaksinasi Covid-19 di dalam negeri sudah meningkat, terutama untuk capaian vaksin dua dosis. Bali pun akhirnya dipilih jadi pilot project untuk menguji prosedur tersebut bisa diterapkan. Dicky menilai, Bali dipilih karena cakupan vaksinasinya sudah jauh lebih baik dari daerah lain. Tapi, ini tak cukup untuk memastikan tak ada penularan. Harus ada kesiapan lainnya dari setiap unsur yang terlibat. Terutama, di unsur mitigasi.

”Surveilans harus tetap dilakukan,” tegasnya.

Menurutnya, pemerintah tetap harus melaksanakan pemeriksaan secara acak pada beberapa penerbangan dari luar negeri. Pemeriksaan ini sangat penting guna menjamin ppln yang masuk ke Indonesia tidak membawa virus SARS-CoV-2. ”Jadi pemeriksaan acak termasuk whole genome sequencing harus tetap dilakukan. Ini yang dilakukan oleh negara-negara lain yang sudah membebaskan karantina,” paparnya.

Dia mencontohkan Australia yang lebih dulu memberikan kelonggaran soal karantina ini. Australia mulai bebas karantina per 21 Februari 2022. Itu pun dengan modal kuat. Vaksinasi dua dosis sudah lebih dari 90 persen dari total populasi. Kemudian, booster sudah di atas 50 persen dari total populasi.  

”Targetnya bukan hanya untuk lansia saja. Itu yang lebih aman. Tentunya dengan surveilans dan prokes kuat di lokasi wisata,” ungkapnya. Bila ini berhasil dan tidak memperburuk kondisi pandemi dalam negeri, tak menutup kemungkinan kebijakan bebas karantina berlaku di semua wilayah. ”Tapi karantina ini tetap vital untuk semua penyakiy menular. Jadi harusnya dinamis (kebijakannya, red),” sambungnya.

Terlebih, ia memprediksi Omicorn bukan jadi varian terakhir dari virus yang pertama kali di Wuhan, Tiongkok ini. Mengingat, masih cukup banyak penduduk di dunia yang belum memiliki imunitas. Ditambah lagi, banyak negara di dunia yang juga belum menerapkan pengendalian Covid-19 secara memadai. Sehingga, risiko infeksi pun masih mungkin terjadi. ”Jadi selama masih ada infeksi, virus SARS CoV-2 bersirkulasi maka kemungkinan bereplikasi dan bermutasi ya masih terjadi. Artinya, varian baru masih bisa muncul,” ungkapnya.

Ini termasuk juga gelombang ketiga di Indonesia. dia mengatakan, ini bukan gelombang terakhir. Meski ke depan potensi semakin kecil dampaknya karena imunitas yang sudah terbentuk semakin banyak. Baik itu, hasil vaksinasi Covid-19 dua dosis, vaksin lalu terinfeksi,  maupun hasil infeksi Covid-19. Karenanya, ia pun menilai wajar jika pemerintah menyebut imunitas masyarakat saat ini tinggi. Karena memang, hal itu diperoleh tak hanya dari vaksinasi.

”Ini menandakan juga kasus infeksi di Indonesia banyak sekali dan banyak juga yang tidak terdeteksi,” katanya.

Namun dia mengultimatum, bahwa imunitas yang terbentuk baik dari vaksinasi, infeksi atau kombinasi keduanya belum bisa dikatakan bertahan lama. Data menunjukkan imunitas dari dua dosis vaksinasi atau kombinasi bisa bertahan di kurang lebih satu tahun. sementara, untuk booster masih harus nunggu data. Kendati demikian, minimal sudah diketahui bahwa perlu ada booster ulangan untuk menghadapi COvid-19 terutama setiap tahun atau dua tahun sekali. Terutama, untuk kelompok berisiko. ”Pandemi terkendali belum bisa dijawab kapan, tapi track sudah ada, arah sudah ada,” pungkasnya.  

Sementara itu, situasi pandemi di wilayah Jogjakarta mengalami kenaikan resiko. Berdasarkan pemetaan terbaru yang tertuang dalam Instruksi Mendagri nomor 15 tahun 2020, lima kabupaten/kota yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta naik level menjadi level 4.

Meski demikian, secara keseluruhan jumlah daerah level 4 di Jawa Bali sama seperti sebelumnya yakni 7 daerah. Sebab di sisi lain, Kota Cilegon, Kota Cirebon, Kota Tegal, Kota Sukabumi dan Kota Salatiga berhasil turun ke level 3. Adapun Kota Madiun dan Kota Magelang belum berhasil turun dari level 4. Dirjen Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri, Safrizal mengatakan, meski daerah level 4 stagnan, namun situasi penanganan covid di Indonesia membaik. Hal itu ditandai dengan tren penurunan tingkat rawat inap di rumah sakit serta angka kematian. “Saat ini secara signifikan menunjukkan penurunan dan pelandaian jumlah kasus,” ujarnya kemarin.

Dia menambahkan, secara keseluruhan, level PPKM di Jawa Bali juga mulai menurun, khsususnya di level 3. Jika sebelumnya terdapat 108 daerah, kali ini hanya 84 daerah saja.  Termasuk di dalamnya wilayah aglomerasi Jabodetabek yang selama ini menjadi penyumbang terbesar. Selain pemetaan, dalam Inmendagri terbaru juga diatur ketentuan kegiatan kompetisi olehraga. Di situ dijelaskan, kompetisi olahraga dapat dilaksanakan secara terbuka di seluruh daerah, kecuali yang masih di Level 4. Adapun kapasitas penonton diatur masing-masing 50 persen untuk daerah Level 3, 75 persen untuk Level 2, dan 100 persen untuk Level 1.

“Tapi harus diikuti dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat,” kata Safrizal. Seluruh penonton yang hadir langsung, wajib divaksinasi booster tanpa perlu menunjukan hasil tes PCR/Antigen. Sedangkan bagi seluruh pemain, ofisial, kru media, dan staf pendukung wajib sudah divaksinasi dosis kedua, serta menunjukkan hasil negatif pada saat hari pertandingan.

Terakhir, Safrizal mengingatkan kepala daerah beserta jajaran forkopimda untuk terus mengakselerasi vaksinasi. Khususnya dosis kedua bagi lansia yang saat ini mencapai 62 persen di Jawa Bali, serta memacu pelaksanaan booster yang masih dibawah 10 persen.

Positivity Rate Jemaah Umrah Masih Tinggi
Pemerintah Indonesia belum mengubah protokol kesehatan (prokes) penyelenggaraan perjalanan umrah. Jemaah umrah tetap harus swab PCR dan menjalani karantina terpusat sebelum terbang ke Saudi. Ini disebabkan positivity rate (tingkat kepositifan) Covid-19 jemaah umrah masih tinggi.

Seperti diketahui Arab Saudi memutuskan melonggarkan prokes untuk pelaku perjalanan luar negeri (PPLN) mereka, termasuk jemaah umrah. Di antaranya tidak ada kewajiban PCR dan karantina setibanyak di Saudi. Kemudian tidak perlu menggunakan masker di ruang terbuka.

Adanya pelonggaran tersebut, tidak serta merta langsung diikuti penyesuaian kebijakan oleh pemerintah Indonesia. Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kemenag Hilman Latief mengatakan masih diperlukan kajian mendalam untuk membuat penyesuaian prokes penyelenggaraan umrah.

"Dengan positivity rate jemaah umrah yang saat ini menyentuh angka 35 persen, perlu pertimbangan Kementerian Kesehatan, BNPB, dan pihak terkait lainnya untuk membuat keputusan ini," katanya di Depok, kemarin (8/3). Selain itu Hilman mengungkapkan adanya kasus sekitar 5 persen jemaah umrah yang melakukan pelanggaran prokes.

Dia mengatakan kondisi-kondisi itu harus diantisipasi. Sehingga jangan sampai ketika jemaah umrah pulang dari Arab Saudi, terkonfirmasi positif Covid-19. Hilman mengatakan kasus pelanggaran yang dilakukan sebagian kecil jemaah umrah diantaranya terkait keterlambatan tes PCR. Sebab sampai saat ini pemerintah Arab Saudi melalui kedutaannya di Jakarta, hanya menyetujui tiga vendor tes swab PCR.

Padahal di satu sisi jumlah jamaah umrah yang berangkat semakin banyak. Sehingga antrean swab PCR di laboratorium milik tiga vendor tersebut terjadi penumpukan.

"Dengan adanya pertambahan jamaah umrah, kami sudah bicara dengan Kedutaan Arab Saudi, agar ditambah vendornya," katanya.

Selain itu Hilman mengingatkan meskipun Saudi melonggarkan prokes, jamaah umrah harus tetap menerima vaksin Covid-19 dosis lengkap sebelum berangkat. Sebab meskipun ada pelonggaran, vaksinasi dosis lengkap tetap menjadi syarat masuk ke Saudi. Bahkan diperkirakan Arab Saudi bakal lebih teliti lagi mengecek status vaksinasi jemaah umrah Indonesia.

Sikap pemerintah yang belum kunjung menyesuaikan prokes umrah dimaklumi sejumlah asosiasi travel umrah. Di antaranya disampaikan oleh Ketua Umum Sarikat Penyelenggara Umrah dan Haji Indonesia (Sapuhi) Syam Resfiadi. Dia mengatakan semua negara, termasuk Indonesia, tidak akan serta merta mengikuti Arab Saudi yang sudah melakukan pelonggaran prokes.

"Faktor herd immunity di masing-masing negara tentu menjadi pertimbangan," katanya.

Untuk itu dia berharap para travel maupun jemaah umrah untuk bersabar. "Perlu sedikit sabar bagaimana kita bisa lepas dan tidak bergantung lagi dengan protokol. Seperti wajib karantina dan PCR," katanya.

Tetapi untuk menggunakan masker dan jaga jarak, menurut Syam sebaiknya tetap dijalankan. Sebab untuk menjaga kesehatan masing-masing jemaah umrah.(lyn/mia/far/wan/jpg)

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook