JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- "Untung, saya masih selamat," ujar salah seorang pria yang menghubungi Jawa Pos (JPG), Ahad (6/12). Dengan suara parau, kontraktor asal Kota Malang itu mengaku hampir saja melaksanakan perjanjian take over paket sembako bantuan sosial (bansos) Covid-19 di Kementerian Sosial (Kemensos) sebanyak 10 juta paket.
"Saya sempat ketemu orang-orang itu," ujarnya. Orang-orang yang dimaksud adalah 'perwakilan' dari Kemensos.
Di kalangan kontraktor dan vendor, orang yang mengaku punya pengaruh kuasa di Kemensos itu dikenal dengan istilah 'jawara' atau 'pendekar'. Lewat jawara itulah, kontraktor diundang ke Jakarta untuk membahas proyek bansos.
"Saya sekali bertemu di Hotel Borobudur dan sekali di hotel Double Three Cikini," ungkapnya.
Pertemuan di hotel bintang 5 itu dilakukan Oktober lalu. Di pertemuan itu, ada perwakilan Kemensos dan 'jawara' yang hadir. Di hotel Borobudur, mereka ngobrol di sebuah room mewah. "Cuma duduk saja bayar Rp2 juta," ungkapnya.
Ada banyak hal yang dibahas dalam pertemuan itu. Di antaranya soal teknis pekerjaan. "Dan membahas komisi," tutur kontraktor yang tidak ingin disebut namanya itu.
Terkait teknis pekerjaan, kontraktor itu menjelaskan bahwa proyek yang dikerjakan adalah bagian dari pengadaan 10 juta paket bansos senilai Rp3 triliun. Paket dengan pagu senilai Rp300 ribu per paket itu didistribusikan di wilayah DKI Jakarta secara bertahap. Kontrak awal yang dikeluarkan Kemensos adalah 500 ribu paket. Selanjutnya, kerja sama akan diatur kembali melalui skema addendum.
Sementara paket bansos Rp300 ribu sendiri terdiri dari beras premium 10 kilogram (Rp130 ribu), 2 liter minyak goreng (Rp28 ribu), susu 4.100 gram (Rp38,7 ribu), sarden 155 gram (Rp29 ribu), biskuit 650 gram (Rp10 ribu), goody bag (Rp15 ribu) dan biaya pengiriman Rp15 ribu. Sehingga total nilai paket sembako sebesar Rp270 ribu setelah dipotong goody bag dan biaya distribusi.
Pengusaha itu mengaku diajak untuk menjadi pihak kedua (sub kontraktor). Pihak pertamanya adalah PT DKP, perusahaan yang ditunjuk oleh Kemensos sebagai penyedia, pengemasan dan pengiriman bansos Covid-19. Melalui skema penunjukan langsung (PL), PT DKP mendapat kuota 500 ribu paket bansos untuk tahap pertama.
Secara hitung-hitungan, proyek itu sangat menggiurkan. Namun konsekuensinya, sub kontraktor harus mengikuti aturan main 'jawara'. Salah satu aturannya adalah menyetor 'dana komando' alias komisi kepada sejumlah pihak. Juga menyunat nilai item bansos.
"Harus ada selisih untuk dibagi-bagi," ungkap pria yang sudah lama terjun di dunia kontraktor itu.
Agar ada selisih, skema bansos versi 'jawara' dibuat beda dengan aturan main yang tertuang dalam kontrak kerjasama resmi. Perinciannya, Rp15 ribu goody bag, Rp15 ribu ongkos distribusi, Rp5 ribu sewa gudang, dan Rp195 ribu untuk pengadaan item paket. Sehingga total Rp230 ribu.
"Kami ambil untung Rp30 ribu," ujarnya.
Dari total hitungan itu, masih ada margin Rp70 ribu yang disebut 'dana komando'. Selisih itulah yang dibagi-bagi. Perinciannya, pemilik kuota bansos (70 persen), kreator (10 persen) dan supplier (50 persen).
"Jadi (sub kontraktor) yang penting punya modal, mereka (PT DKP dan jawara) yang kerjain semuanya," tuturnya.
Dia menjelaskan, pemodal yang ingin ambil bagian dalam proyek itu wajib menyetor 'dana komando' di awal, cash keras. Setelah uang disetor, baru sub kontraktor mendapatkan surat perintah kerja (SPK) yang dikeluarkan Kemensos.
"Karena harus bayar (dana komando) cash di awal, kami mundur," ujarnya.
"Kami sempat nego, bayar dengan cek, tapi mereka nggak mau." (tyo/jpg)