JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Seperti dikhawatirkan sejak awal, penyelenggaraan pembelajaran tatap muka (PTM) di tengah pandemi Covid-19 memunculkan klaster penularan baru. Bahkan beberapa daerah menghentikan PTM untuk skala yang cukup luas. Meskipun begitu PTM tetap diperlukan karena belajar dari rumah (BDR) banyak persoalan.
Kasus terbaru muncul di Kota Depok, Jawa Barat. Pemerintah Kota (Pemkot) Depok akhir pekan lalu memutuskan menghentikan seluruh kegiatan PTM di Kecamatan Pancoran Mas. Kebijakan ini diambil untuk mengendalikan kemunculan klaster penularan Covid-19 dalam pelaksanaan PTM.
Penghentian sementara kegiatan PTM tersebut berlaku sejak 19 November sampai 29 November. Penghentian ini berlaku untuk seluruh jenjang pendidikan. Baik sekolah umum maupun keagamaan seperti madrasah dan lainnya. Kebijakan penghentian PTM itu diawali dengan temuan 84 kasus Covid-19 klaster PTM. Kasus ini diawali dari klaster keluarga. Di antara lokasi penemuan kasus Covid-19 klaster PTM yang terbanyak ada di SMP Negeri 2 Depok dengan jumlah sembilan kasus Covid-19.
Klaster penularan Covid-19 yang terjadi di sekolah juga muncul di Kota Bogor, Jawa Barat. Pemkot Bogor bakal memperketat mobilitas warga mulai awal Desember. Setelah ditemukan 24 kasus Covid-19 klaster Sekolah Dasar (SD) Sukadamai, dengan rincian 14 orang siswa dan 10 orang guru. Wali Kota Bogor Bima Arya langsung memutuskan penghentian sementara PTM di SD Sukadamai pada 18-27 November.
Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) menyoroti pelaksanaan PTM di tengah pandemi Covid-19 yang masih belum usai. Mereka melakukan sebuah survei dengan tajuk Dilema BDR dan PTM. Menurut mereka kemunculan klaster sekolah memang tidak terelakkan. Apalagi dengan mobilitas penduduk yang semakin longgar seperti sekarang ini.
Peneliti IDEAS Febbi Meidawati mengatakan dari hasil survei mereka, ditemukan banyak persoalan dalam pelaksanaan BDR atau pembelajaran daring dari rumah. Untuk itu Febbi mengatakan dibukanya kembali PTM secara terbatas menjadi sebuah keharusan.
’’Namun merebaknya klaster sekolah seiring PTM, menimbulkan kekhawatiran lonjakan kasus Covid-19,’’ katanya.
Febbi menegaskan kembali menutup sekolah dan melanjutkan pembelajaran secara daring tak terhindarkan ketika kasus Covid-19 kembali meninggi. Dampaknya siswa menjadi pihak paling dirugikan. Karena selama ini banyak persoalan dalam pelaksanaan BDR.
Untuk itu Febbi mengatakan pemerintah harus melakukan antisipasi sejak saat ini. Sebuah antisipasi ketika semakin banyak pemda yang memutuskan menghentikan sementara PTM untuk menekan laju penularan Covid-19.
’’Temuan dari survei kami menunjukkan terdapat peluang BDR bisa semakin diterima siswa, ketika kelemahannya bisa direduksi,’’ katanya.
Menurutnya kombinasi antara PTM dengan BDR merupakan alternatif terbaik. Sebab menjalankan BDR secara penuh dengan berbagai kendala yang belum teratasi sampai sekarang, bukan pilihan bijaksana. Diantara kendalanya seperti siswa jenuh, pembelajaran kurang menarik, penyampaian guru tidak semaksimal ketika belajar dikelas, sampai soal akses internet.
’’Namun perlu dicatat juga, PTM secara penuh juga berisiko tinggi,’’ katanya. Untuk itu Febbi menekan ketika sekarang kasus Covid-19 cenderung melandai, kemudian PTM kembali dibuka, guru tetap harus membuat konten belajar menarik. Sehingga ketika suatu saat kembali BDR, siswa tidak merasa dirugikan. Di antara kerugian siswa yang paling dirasakan saat BDR adalah prestasi mereka tidak menjadi lebih baik dibandingkan sebelum pandemi," ujarnya.
Sementara itu kembali munculnya klaster Covid-19 di lingkungan sekolah mendapat sorotan dari pemerintah. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menghimbau, agar satuan pendidikan tidak kendor dalam penerapan protokol kesehatan (prokes) meski saat ini kasus secara nasional sedang turun.