PERISTIWA BERDARAH DI RUMAH MANTAN KADIVPROPAM IRJEN FERDY SAMBO

Barang Bukti Rusak Sulitkan Pembuktian Pelaku Lain

Nasional | Sabtu, 06 Agustus 2022 - 08:56 WIB

Barang Bukti Rusak Sulitkan Pembuktian Pelaku Lain
Abdul Fickar Hajar (Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti) (INTERNET)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Perusakan barang bukti (barbuk) dalam kasus penembakan Brigadir Yosua memiliki dampak serius.

Untuk menjerat Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E memang mudah, namun berbeda dengan membuktikan keterlibatan pihak lainnya dalam peristiwa berdarah yang terjadi di rumah mantan Kadivpropam Irjen Ferdy Sambo tersebut.


Hasil autopsi forensik dan uji balistik hanya akan menunjukkan penyebab luka dan kematian. Tanpa mampu memberikan bukti siapa saja pelaku. Kondisi itu berpotensi membuat kasus menjadi lemah di persidangan. Malah bisa jadi, saat berada di meja hijau justru diputuskan tidak bersalah.

Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hajar mengatakan, saat ini barang bukti seperti CCTV, ponsel Brigadir Yosua, dan lainnya telah rusak. “Kondisi ini untuk tersangka atau nantinya terdakwa Bharada E tidak sulit dibuktikan atau dijerat," paparnya.

Beda ceritanya bila untuk mengembangkan kasus terhadap pelaku lain. Bahkan, dalam penetapan tersangka mungkin juga bisa terhambat. Saksi mata dari kejadian penembakan tersebut juga terbilang sangat minim. Bahkan, bisa jadi sudah tidak lagi murni.

Diketahui saksi mata kejadian tersebut hanyalah Putri Candrawathi, Bharada E, dan belakangan muncul Brigadir R. “Makanya ada hambatan," urainya.

Salah satu sandaran pembuktian yang dinilai masih murni adalah autopsi forensik. Namun begitu, Fickar menuturkan bahwa autopsi forensik tersebut hanya menentukan penyebab luka dan kematian. “Peluru yang mana mengenai bagian tubuh yang mana," terangnya.

Peluru itu juga akan menggambarkan jenis senjata yang digunakan untuk menembak. Namun, semua hasil autopsi forensik ini tidak mampu membuktikan siapa penembaknya atau pelakunya. “Autopsi untuk pembuktian peristiwa yang terjadi terhadap jenazah. Bukan siapa pelakunya," paparnya.

Karena itu, saat kasus tersebut sudah lengkap tersangkanya, ada kemungkinan Bharada E memang terbukti bersalah. Tapi, bisa jadi pelaku lainnya malah bebas. “Ini bisa terjadi," ujarnya.

Kepada Jawa Pos (JPG), ahli Forensik Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Kristen Krida Wacana  Kombespol (Purn) Anton Castilani menuturkan pihaknya tidak bisa menjawab apakah pelakunya lebih dari satu. “Kalau itu tanya penyidik," ujarnya.

Terpisah, Psikolog Forensik Reza Indragiri Amriel menyebutkan sesuai dengan penjelasan dari Tim Khusus diketahui bahwa penembakan yang dilakukan Bharada E bukanlah membela diri. “Situasi bukan membela diri, artinya saat itu bukan situasi yang hidup atau mati," terangnya.

Saat situasi hidup atau mati, system thinking bersifat sangat cepat, spontan, sangat mendasar, dan instingtif. “Ditembak atau menembak, siapa mati duluan dan hidup atau mati," ujarnya.

Kalau situasinya bukan hidup mati, system thinking-nya adalah rasional, sistematis, dan berdasarkan data serta kalkulasi. “Apa yang dikalkulasi? Ya target, insentif, sumber daya, dan risikonya," paparnya.

Sementara itu, setelah 25 anggota Polri dimutasi dan diperiksa secara kode etik, masih timbul pertanyaan terkait belum dimutasinya mantan Kapolres Jakarta Selatan Kombes Pol Budhi Herdi Susianto. “Mana telegramnya atau SK-nya," ujar pengamat kepolisian Bambang Rukminto.

Apalagi, sesuai dengan Peraturan Kapolri Nomor 2/2022 tentang Pengawasan Melekat (waskat) diketahui atasan anggota yang melakukan pelanggaran bisa dimintai pertanggungjawaban. Bahkan, atasan yang dimintai pertanggungjawaban itu jenjangnya dua tingkat.

Karena itu, lanjutnya, kondisi yang belum jelas terkait Kombes Pol Budi Herdi Susianto memicu masalah. Sebab, azas imparsial di mata hukum berlaku bagi semua personel kepolisian. “Aneh saat Kapolres Jaksel tidak masuk, tapi Kasatreskrimnya masuk TR," urainya.

Sementara itu, Komnas HAM kembali melanjutkan proses pemantauan penyelidikan kasus meninggalnya Yosua, kemarin. Mereka meminta keterangan dari tim siber terkait komunikasi. Diperoleh data bahwa tim siber telah mengumpulkan sebanyak 15 ponsel yang berkaitan dengan perkara Yosua.

Dari 15 ponsel itu, 10 sudah diperiksa. Sementara lima lainnya sedang dalam proses analisis. Dalam pemeriksaan ponsel itu, Komnas HAM mendapat informasi dan data berupa foto, dokumen, kontak, akun serta percakapan atau chat. "Ada juga temuan digital lainnya," kata Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara dalam konferensi pers.

Tak hanya itu, Beka menyebut pihaknya juga memperoleh dokumen administrasi penyelidikan kasus Yosua. Juga bahan dasar (raw material) yang berkaitan dengan percakapan dan lainnya. Komnas HAM segera melakukan analisis untuk memperkaya hasil pemantauan yang diperoleh sebelumnya.

Komisioner Komnas HAM M Choirul Anam menambahkan, sejatinya kemarin pihaknya juga mengagendakan pemeriksaan timsus Polri terkait hasil uji balistik. Namun, upaya itu urung dilakukan lantaran timsus masih belum siap. "Kami sepakati waktu dengan timsus itu hari Rabu pekan depan," ujarnya.(idr/tyo/c18/ttg/jpg)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook