KADARNYA MAKIN MEMBAHAYAKAN

Jangan Beri Tempat untuk Pelaku Cyberbullying di Medsos

Nasional | Rabu, 06 Mei 2020 - 04:49 WIB

Jangan Beri Tempat untuk Pelaku Cyberbullying di Medsos
Pakar media sosial dari UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta Dr Rulli Nasrullah berharap, media sosial jangan sampai memberikan tempat kepada siapapun untuk melakukan perundungan di media sosial. (DOK ANTARANEWS)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Cyberbullying atau perundungan digital merupakan salah satu fenomena hitam di media sosial (medsos). Kondisi memprihatinkan ini harus segera ditangani karena kadarnya sudah makin membahayakan.

Pernyataan itu diungkapkan oleh pakar media sosial dari UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta Dr Rulli Nasrullah. Ia juga berharap, media sosial jangan sampai memberikan tempat kepada siapapun untuk melakukan tindakan kurang terpuji tersebut secara bebas.


"Bisa dikatakan perundungan di media sosial sebagai teror sosial melalui teknologi. Ini jelas, dalam kajian akademik Kowalski di tahun 2008 menyoroti bagaimana teknologi menjadi tempat yang subur bagian dari aksi-aksi teror sosial tersebut," ujar Rulli kepada JawaPos.com, Selasa (5/5).

Rulli menjelaskan, perundungan digital merupakan tindakan yang dimaksudkan untuk mempermalukan, mengintimidasi, menyebar keburukan dan kebencian di media siber. Baik itu dilakukan khusus kepada korban atau melalui unggahan konten yang diketahui oleh publik.

Menurut Rulli, itu jelas berbeda dengan dunia offline dimana perundungan terjadi karena adanya kontak fisik maupun interaksi antara pelaku dan korban. Karena di media sosial interaksi terjadi hanya sekadar teks. Artinya, pelaku perundungan bisa bebas meluapkan hal-hal yang menurutnya benar dan dipublikasikan di media sosial.

"Fenomena ini semakin diperparah ketika perundungan dijadikan alasan untuk konten. Entah itu upaya menjadikan saluran (channel) atau akun media sosialnya terkenal atau meningkatkan trafik kunjungan," paparnya.

Misalnya dengan dalih "prank" seorang Youtuber dari Bandung yang melakukan tindakan perundungan terhadap sekelompok orang dengan memberikan kotak bantuan yang ternyata isinya sampah dan bebatuan.

Apapun alasan dari si pembuat konten, tetap saja konten yang dipublikasikan di saluran Youtube merupakan perundungan yang tidak terpuji.

Lalu apakah tindakan terhadap Almira Tunggadewi Yudhoyono (Aira), Putri Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) termasuk dalam perundungan?

Dalam konteks ini, Rulli mengatakan, secara akademis harus dilihat dahulu bahwa definisi perundungan itu adalah tindakan penghinaan, kekerasan psikis, atau intimidasi yang dilakukan kepada orang lain atau kelompok lain.

Dari sisi teks pada dasarnya merupakan hal yang wajar dan biasa seseorang mengungkapkan opini dan pendapatnya. Namun, lanjut Rulli, saat sebuah teks di media sosial diunggah beserta foto jelas hal tersebut sangat mengkhawatirkan.

"Karena jelas-jelas konten yang diunggah mengarah pada visual seseorang dan dalam konteks ini adalah seorang anak," tegas dosen media siber di program Magister Ilmu Komunikasi itu.

Jika pun dikatakan tidak sebagai perundungan, bisa jadi konten dengan visual foto tersebut akan memicu netizen atau para follower untuk melalukan perundungan. Itu karena di media sosial, informasi atau teks seringkali terputus dan tidak lengkap menjelaskannya.

"Saya pikir, ini yang mengkhawatirkan dan seringnya tindakan tidak terpuji di media sosial karena ada kekurangan teks sebagai penjelas dalam sebuah peristiwa, atau dalam konteks ini aktivitas dalam foto," paparnya.

Lebih lanjut, Rulli pun meminta kepada aparat berwenang agar kondisi ini mesti menjadi perhatian semua pihak. Sebab dengan alasan apapun seorang anak tidak boleh menjadi bahan "komoditas" di media sosial maupun di internet.

"Tak mengherankan apabila Youtube pada tahun lalu mengeluarkan kebijakan untuk menghapuskan regulasi monetisasi konten yang ada unsur anak-anaknya," imbuh alumni program doktoral UGM.

Tujuannya sebagai upaya untuk tidak menjadikan anak sebagai "barang dagangan" maupun pekerja digital.

Secara garis besar, perilaku cyberbullying itu bisa berupa menyebarkan rumor, melakukan discredit pada pihak tertentu, melakukan penghinaan, melakukan tindakan rasis, melakukan kejahatan seperti hacking akun, hingga melalukan impersonate alias seolah-olah menjadi orang lain.

Sebab, kata Rulli, ketika ada teks atau visual yang mengarah kepada siapapun atau komunitas dan kelompok apapun tentu menjadi tindakan yang tidak terpuji.

"Apalagi, jika objek yang menjadi perundungan siber menggunakan visual seorang anak. Ini membahayakan," pungkasnya.

Sebelumnya, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti angkat bicara terkait cyberbullying yang dialami oleh Almira Tunggadewi Yudhoyono, anak Ketum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

KPAI meminta netizen berhenti merundung putri dari pasangan AHY dan Annisa Pohan itu. Sebab, Almira hanya seorang anak yang mendapatkan tugas dari sekolah untuk membuat pidato berbahasa Inggris terkait usulan lockdown untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19.

AHY kemudian mengunggah naskah pidato putrinya yang kerap dipanggil Aira itu melalui akun media sosial. Namun unggahan tersebut menuai berbagai tanggapan.

Retno mengatakan, Annisa Pohan menduga bahwa putrinya yang masih di bawah umur telah menjadi bahan olok-olokan politik dari salah satu akun media sosial di Twitter. Sebagai ibu, ia pun berusaha melaporkan hal tersebut kepada Presiden Joko Widodo dan KPAI melalui akun media sosialnya.

Lebih lanjut, Retno pun mengimbau netizen agar berhenti merundung putri AHY karena akan berdampak pada psikologis anak tersebut. Menurutnya, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, anak-anak wajib dilindungi dari tindakan cyberbullying.

"Psikologis dari perundungan dapat menurunkan sistem imun Almira. Dia pun meminta netizen memberikan contoh baik dalam menggunakan media sosial kepada anak-anak Indonesia," pungkasnya.

Sumber: Jawapos.com
Editor: Rinaldi

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook