PEKANBARU, (RIAUPOS.CO) - PENGAMAT ekonomi sosial Riau Dr Edyanus Herman Halim MSi menjelaskan, jika ada indikasi mark up untuk bansos yang dilakukan oleh oknum-oknum Pemko Pekanbaru tentunya akan sangat melukai hati masyarakat. Ini juga menodai keinginan untuk menjadikan Pekanbaru sebagai Smart City Madani.
Kota yang cerdas itu menuntut para pengelola yang cerdas pula. "Cerdas yang tidak menjual" atau kuat yang tidak menghancurkan. Dia menyebutkan, me-markup bantuan mi instan itu betul-betul tidak cerdas. Justru sangat memalukan. Dilakukan secara tidak mendidik dan menimbulkan perasaan marah masyarakat karena aparatur seperti itu sungguh tidak berperi kemanusiaan.
"Masyarakat dalam keadaan terjepit kesengsaraan dan sedang panik menghadapi pandemi Covid-19 ini malah dikelabui dengan cara-cara yang tidak cerdas itu," ujar Edy.
Apatur seharusnya justru menghimpun kekuatan bersama dari seluruh stakeholder untuk melawan pandemi Covid-19 ini. Mereka seharusnya menyumbangkan hartanya untuk membantu masyarakat yang membutuhkan. Bukannya mencuri apa-apa yang sesungguhnya sudah menjadi hak rakyat.
"Tindakan tegas hendaknya dilakukan pada orang-orang yang tidak mampu mencerna bencana ini sebagai keprihatinan bersama," ujarnya.
Adapun jika kesalahan dalam penetapan harga dengan harga pasar, ini masalah kurang cermatnya dalam merumuskan anggaran. Dengan cara seperti ini berarti pelaksananya kurang cermat dan kurang profesional.
"Tentu bisa merugikan negara," ujar Edy.
Indikasi Korupsi
Kelebihan bayar sembako Covid-19 perlu dicermati. Apakah hanya kelalaian atau berpotensi jadi masalah hukum dan korupsi seperti halnya sembako bansos mantan Mensos Juliari Batubara, yang di belakang layar ternyata menerima fee dari selisih harga dan akhirnya ditangkap tangan KPK. Semuanya dimulai dari markup pemerintah dan disepakati penyedia barang, termasuk fee di dalamnya.
Pengamat hukum pidana dari Unri Dr Erdianto Effendi menjelaskan, jika sudah ada hasil audit yang menyatakan kerugian negara dan kerugian negara itu disebabkan oleh adanya perbuatan melawan hukum, maka hal tersebut adalah tindak pidana korupsi. Hal ini sebagaimana diatur dalam pasal 2 Undang-Undang 31 tahun 1999, sebagaimana telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001. Jika ada penambahan atau pembesaran dana daripada kenyataan, jelas ada kesengajaan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Tapi jika masih dugaan, berarti audit BPK belum selesai.
"Mungkin BPK masih memberi kesempatan untuk pengembalian dalam waktu 60 hari. Namun jika tidak dikembalikan, bisa diteruskan ke tahap penyidikan," ujarnya.(jrr)