Bukan Obat Baru, Remdesivir Dahulu untuk SARS, MERS, dan Ebola

Nasional | Sabtu, 03 Oktober 2020 - 10:40 WIB

Bukan Obat Baru, Remdesivir Dahulu untuk SARS, MERS, dan Ebola
Masteria Yunovilsa Putra, Peneliti Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

JAKARTA, (RIAUPOS.CO) - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sudah memberikan izin kepada PT Kalbe Farma untuk mengedarkan obat Remdesivir. Obat tersebut diklaim sebagai obat menangani pasien Covid-19.

Peneliti Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Masteria Yunovilsa Putra menjelaskan Remdesivir itu bukan obat baru. Remdesivir juga bukan obat yang dimulai dengan riset dari nol untuk membunuh virus SARS-CoV-2 pemicu wabah Covid-19.


"Obat ini bukan jenis baru. Dulu digunakan untuk Ebola, SARS, dan MERS," katanya kemarin (2/10). Meskipun begitu Masteria mengatakan Remdesivir sudah disetujui oleh FDA (Food and Drug Administration) Amerika untuk emergency authorization. Sepengetahuannya obat Remdesivir digunakan untuk pasien Covid-19 dengan gejala sedang sampai berat.

Dia menjelaskan dari sejumlah paper yang mengulas soal uji in Vitro Remdesivir, memang menunjukkan hasil yang signifikan untuk menghambat pertumbuhan virus SARS-CoV-2. Tetapi dia mengatakan di beberapa negara penggunaan Remdesivir masih sebatas untuk kondisi darurat.

Beredar kabar obat Remdesivir itu nantinya dijual seharga Rp3 juta per dosis. Masteria tidak bisa berkomentar banyak soal harga obat itu. "Tapi memang karena (obat, red) ini impor, pasti akan mahal," jelasnya.

Presiden Direktur Kalbe Farma Vidjongtius mengkonfirmasi bahwa PT Kalbe Farma Tbk sudah mendapatkan izin BPOM untuk memasarkan obat Covid-19 jenis Remdesivir di Indonesia dengan merek jual Covifor. Kalbe Farma bertindak sebagai distributor dari produk yang diproduksi oleh perusahaan asal India yakni Hetero dan diimpor ke Indonesia lewat anak perusahaan yaitu PT Amarox Pharma Global.

Vidjongtius menjelaskan lebih lanjut bahwa perjanjian kerja sama pemasaran dan distribusi sudah ditandatangani kedua belah pihak pada 28 September 2020 dan obat dipasarkan mulai Oktober. Akan tetapi pihak Kalbe Farma menegaskan bahwa obat tidak dijual secara bebas, melainkan langsung didistribusikan ke rumah sakit.

"Sesuai dengan izin dan ketentuan BPOM bahwa obat hanya untuk penggunaan emergency atau disebut emergency use authorization. Pemakaian obat tersebut harus dikonsultasikan di rumah sakit," ujar Vidjongtius, saat dihubungi Jawa Pos (JPG), kemarin.

Mengenai harga, Vidjongtius menegaskan bahwa banderol Covifor memang relatif cukup tinggi yakni Rp3 juta per dosis. Harga yang mahal itu disebut Vidjongtius karena faktor skala volume yang masih kecil.

 "Produk Covifor saat ini masih diimpor dan faktor harga selalu berbanding lurus dengan jumlah unit atau volume yang ada. Kalbe memperkirakan dan terus berupaya setelah skala volume bertambah maka harga tersebut bisa lebih rendah lagi," tegasnya. (wan/agf/jpg)

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook