KRIMINAL

Djoko Tjandra Bisa Dipenjara Lebih dari 2 Tahun

Nasional | Senin, 03 Agustus 2020 - 09:57 WIB

Djoko Tjandra Bisa Dipenjara Lebih dari 2 Tahun
Mahfud MD

JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Terpidana kasus korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali Djoko Tjandra memang sudah mendekam di balik jeruji besi Rumah Tahanan Salemba Cabang Bareskrim. Namun status hukumnya dalam kasus Brigjen Pol Prasetyo Utomo masih saksi. Djoko sudah menunjuk Otto Hasibuan sebagai penasihat hukum dalam kasus tersebut.

Otto mengakui dirinya sudah bertemu dan berbicara langsung dengan kliennya. Dia juga telah mendapat informasi terkait status Djoko dalam kasus yang menyeret nama Prasetyo.  "Djoko Tjandra di sini hanya diperiksa sebagai saksi perkaranya Prasetyo. Jadi, dia nggak ada tersangka di kasus surat jalan," beber Otto.


Dalam kasus penerbitan surat jalan, Polri memang belum menetapkan Djoko sebagai tersangka. Baru Prasetyo dan pengacara Djoko, Anita Kolopaking, yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut. Namun, bukan tidak mungkin ada tersangka lain. Mengingat penyidikan kasus tersebut masih terus berjalan.

Karena itu, meski belum berstatus tersangka, Djoko ditahan di Rutan Salemba Cabang Bareskrim. Menurut Kepala Bareskrim Polri Komjen Listyo Sigit Prabowo, pihaknya perlu mendalami informasi dari Djoko. Listyo ingin kasus yang menyeret-nyeret jenderal bintang satu Polri itu bisa diungkap sampai terang-benderang. Walau ada perwira tinggi Polri terlibat, Listyo menjamin kasus tersebut akan diungkap secara transparan.

"Yang kami lakukan (penyidikan) segera bisa cepat selesai dan kami bisa menyampaikan apa yang terjadi," bebernya.

Keterangan Djoko terkait kasus itu tentu sangat penting. Sebab, surat jalan diberikan Prasetyo untuk Djoko. Apakah ada uang yang digelontorkan Djoko untuk mendapat surat tersebut? Bareskrim akan mendalaminya. Bukan hanya Listyo, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko polhukam) Mahfud MD juga sudah menyampaikan bahwa dugaan tindak pidana lain yang dilakukan Djoko harus diungkap.

Melalui salah satu akun media sosialnya, Mahfud menyatakan bahwa Djoko Tjandra tidak hanya harus mendekam di penjara sesuai vonis kasus cessie Bank Bali selama dua tahun.

"Karena tingkahnya, dia bisa diberi hukuman-hukuman baru yang jauh lebih lama," tulis Mahfud.

Salah satu dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh Djoko terkait surat jalan. Selain itu, dugaan suap kepada pejabat yang membantu Djoko sehingga bisa keluar masuk Indonesia tanpa terdeteksi. Tidak hanya melalui media sosial, Mahfud juga menyampaikan itu kepada awak media. Dengan tegas dia menyebutkan bahwa semua pihak yang terlibat meloloskan Djoko dari pengejaran aparat harus ditindak.

Mahfud ingin penegak hukum tidak pandang bulu. Orang kepolisian, kejaksaan, maupun imigrasi, semua yang terlibat harus diproses.

"Saya hanya katakan, sekarang yang diperlukan itu tindakan ke dalam," beber Mahfud.

Tindakan ke dalam yang dia maksud adalah langkah tegas bagi semua pihak di kementerian atau lembaga yang terlibat. Senada dengan kabareskrim, Mahfud juga ingin setiap kasus yang terkait Djoko Tjandra diungkap sampai tuntas. Dia mengajak masyarakat mengawal kasus-kasus tersebut. Berkaitan dengan upaya hukum yang dilakukan Djoko, Otto menyatakan bahwa dirinya hanya fokus pada dua hal. Yakni kasus surat jalan dan penahanan kliennya.

Soal kasus surat jalan, Otto memastikan lagi, kliennya belum menjadi tersangka. Sedangkan terkait dengan penahanan Djoko, dia merasa janggal. Sebab, dalam putusan terhadap Djoko, penahanan tidak masuk dalam salah satu poin putusan.

"Yang pasti kami sedang mempertanyakan dasar penahanan terhadap Djoko Tjandra," imbuhnya.

Meski dipersoalkan, Polri tetap menahan Djoko. Menurut Listyo, penahanan di Rutan Salemba Cabang Bareskrim dilakukan untuk kepentingan penyidikan kasus yang tengah didalami oleh instansinya.

"Penempatan di sini (Rutan Salemba Cabang Bareskrim) sifatnya sementara," terang dia.

Setelah pemeriksaan selesai, Djoko akan dikembalikan ke Rutan Salemba. Di Rutan Salemba, Djoko menjadi tahanan Kejaksaan Agung (Kejagung). Dia ditahan setelah Kejagung mengeksekusi putusan PK. Yakni hukuman dua tahun penjara. Dia dieksekusi setelah sebelas tahun menghilang sampai berstatus buronan. Kejagung yang bekerja sama dengan Polri juga sudah memberi izin tahanan mereka untuk sementara waktu dikurung di Bareskrim.

DPR Minta Gunakan UU Tipikor
Komisi III DPR menyoroti pasal yang dipakai untuk menjerat Brigjen Prasetijo Utomo dan pengacara Djoko Tjandra, Anita Kolopaking. Diketahui, keduanya dijerat terkait pemalsuan surat jalan. Pasal yang disangkakan adalah subsidair Pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 E KUHP,  subsidiair Pasal 426 KUHP, lebih subsidiair Pasal 221 ayat (1) ke-2 KUHP dan Pasal 223 KUHP.

"Pasal yang disangkakan tidak akan mengungkap pihak lain yang turut berperan," kata Anggota Komisi III DPR Habiburokhman, kemarin. 

Dijelaskan, jika fokus penanganan kasus hanya terbatas pada pemalsuan surat,  penggunaan surat palsu atau menolong narapidana lolos dari hukuman, maka peran pejabat lain sangat mungkin tidak bisa dibongkar. Mulai dari peran Jaksa Pinangki Sirna Malasari, mantan lurah Grogol Selatan Asep Subhan, aparat imigrasi dan sederet aparat lainnya bisa sulit dibongkar.

"Kami ingin kasus ini diusut total. Siapa saja yang terlibat dibongkar," ujarnya.

Dia menilai, aparat penegak hukum seharusnya menerapkan pasal 9 UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor. Bunyinya:  “Dipidana dengan pidana penjara paling lama paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun dan pidana denda paling sedikit Rp50 juta rupiah dan paling banyak Rp250 juta rupiah, pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi."

Menurut Habib, penerapan pasal 9 UU Tipikor bisa memproses seluruh kegiatan pemalsuan buku-buku atau daftar-daftar khusus untuk pemeriksaan administrasi. Itu  meliputi pemalsuan surat jalan, pemalsuan pencabutan red notice, pemalsuan pembuatan KTP dan paspor. Sekaligus dapat diungkapkan lebih jauh terkait peran Jaksa Pinangki Sirna Malasari dalam kasus tersebut. Sebab jabatan yang bersangkutan hanya kepala sub bagian pemantauan dan evaluasi pada biro perencanaan jaksa agung muda pembinaan. “Artinya bukan jabatan jaksa yang bisa menentukan kebijakan. Sangat mungkin ada jaksa lain yang lebih senior terlibat dalam kasus ini," tegas politikus Gerindra itu.(syn/mar/jpg)

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook