TIDAK BERLANGSUNG MULUS

Ade Komarudin Resmi Menjabat Ketua DPR RI

Nasional | Selasa, 12 Januari 2016 - 09:16 WIB

Ade Komarudin Resmi Menjabat Ketua DPR RI
DISUMPAH: Ade Komarudin disumpah saat dilantik sebagai Ketua DPR RI sisa masa jabatan 2014-2019 dalam sidang paripurna di Jakarta, Senin (11/1/2016). Pelantikan dilakukan Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali.RICARDO/JPNN.COM/JPG

Modal Buruk DPR di 2016

Penetapan mantan Ketua Fraksi Partai Golongan Karya Ade Komarudin sebagai Ketua DPR bisa membawa ekses negatif kepada perjuangan DPR untuk mengembalikan citranya di mata publik. Dengan pelantikan yang diwarnai keberatan sejumlah fraksi, setiap keputusan DPR yang ditandatangani oleh Ade bisa diragukan legitimasinya. Karena yang bersangkutan dilantik di saat konflik internal Partai Golkar belum jelas ujung penyelesaiannya.

Baca Juga :Realisasikan Harapan untuk Kemajuan

Peneliti Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai, proses pelantikan Ketua DPR yang terkesan dipaksakan merupakan modal buruk bagi DPR memulai awal tahun 2016. Padahal, dengan kinerja yang buruk di sepanjang tahun 2015, DPR bercita-cita ingin membangun kerja sama internal demi meningkatkan produktivitas kinerja.

Namun, dengan cara pelantikan yang sudah terjadi, DPR tidak memberikan optimisme baru dari pemimpin yang baru. ”Bagaimana seorang Ade bisa berwibawa penuh menggalang kekuatan fraksi-fraksi di DPR jika proses pelantikannya diiringi penolakan sejumlah fraksi di DPR,” kata Lucius saat dihubungi.

Menurut Lucius, pelantikan Ade membuktikan bahwa demokrasi substansial yang didambakan justru gagal di jantung demokrasi itu sendiri. Sebagian besar wakil rakyat mengabaikan suara penolakan. Patut diingat, ada ketidakikutsertaan PDIP yang notabene pemenang pemilu dalam pelantikan Ade.

”Dengan PDIP tidak mengambil keputusan di paripurna pelantikan, legitimasi Ade tidak sangat kuat sebagai pimpinan DPR,” Lucius mengingatkan.

Lucius mengingatkan bahwa demokrasi substantif ditandai dengan penghargaan terhadap partisipasi setiap individu. Dalam arti, semua suara yang muncul di paripurna seharusnya dijadikan bahan pengambilan keputusan.   

”Apa yang terjadi di DPR, pimpinan sidang hanya menjadikan paripurna sebagai alat legitimasi, sementara suara peserta tidak dianggap penting,” kritiknya. Hal ini merupakan pelecehan untuk anggota DPR yang lain dalam menyatakan sikap terkait posisi Ade.(bay/kim/far/jpg)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook