JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Pemerintah mulai memberikan tindakan kepada Lion Air. Sebagai tahap awal, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi memerintahkan pihak Lion Air membebastugaskan Direktur Teknik Muhammad Asif, per Rabu (31/10). Surat perintah tersebut sudah disampaikan ke manajemen, kemarin.
Budi mengatakan, Direktur Teknik Lion Dibebastugaskan keputusan itu diambil dalam rapat yang melibatkan jajarannya bersama otoritas Bandara Soekarno-Hatta. Menurutnya, kebijakan itu diambil bukan berarti pemerintah menyalahkan yang bersangkutan. Apalagi proses penyelidikan sendiri baru dimulai.
Namun, pria yang akrab disapa BKS itu menyebut perintah diambil untuk mempermudah Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) melakukan proses penyelidikan. Sebab, jika masih menjabat, dikhawatirkan bisa mengganggu pekerjaan.
“Dari pengamatan kami, dan berdasarkan dari jobdesc satu penerbangan, kelaikan dari satu perusahaan penerbangan adalah direktur teknik,” ujarnya di Istana Kepresidenan, Jakarta.
Tapi, Budi juga menegaskan jika perintah membebastugaskan tidak berarti berlaku selamanya. Namun sampai pemeriksaan selesai. Jika bedasarkan hasil penyelidikan, yang bersangkutan dinyatakan tidak bersalah, maka bisa kembali bertugas. “Kalau sudah ada pemeriksaan dan dia tidak salah, tidak dibebaskan. Ini sementara,” imbuhnya.
Disinggung soal sanksi bagi korporasi Lion Air, Budi belum bisa menjawab. Pihaknya baru bisa mengambil keputusan pascakeluarnya hasil penyelidikan yang dilakukan KNKT. BKS juga menjelaskan, pemerintah tengah melakukan upaya peningkatan standar keamanan. Salah satunya dengan mengadakan ramp check yang dilakukan dalam beberapa hari mendatang. Rencananya, pemeriksaan terhadap Lion Air dikenai standar yang lebih tinggi.
“Persentase lebih banyak, (Lion) bisa 40 persen dari jumlah pesawat secara random. (Maskapai) Yang lain 10 sampai 15 persen,” tuturnya. Agar efektif, ramp chek akan digelar dengan pemilihan pesawat yang diacak.
Sementara itu, Presiden Joko Widodo meminta peristiwa jatuhnya pesawat Lion Air JT 610 sebagai bahan evaluasi. Dia pun memerintahkan Menteri Perhubungan untuk memperketat manajemen keselamatan penumpang. Terkait kebijakan low cost carrier (LCC) atau pesawat berbiaya murah, Jokowi menyebut hal itu tidak jadi masalah. Sebab, semua negara juga memiliki penerbangan LCC. Yang menurutnya adalah manajemen keselamatan penumpang terus diperketat.
“Semua negara namanya LCC itu ada, tidak ada negara di manapun yang menginginkan adanya musibah yang namanya kecelakaan pesawat seperti itu,” ujarnya.
Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), kemarin (31/10) telah melakukan pemilahan barang temuan yang ada di Jakarta International Container Terminal II (JICT II). Temuan itu dianggap bisa menjadi barang bukti kecelakaan pesawat Boeing 737 Max 8 di Laut Jawa, Senin lalu (29/10). Serpihan dari pesawat dengan nomor registrasi PK-LQP milik PT Lion Mentari Airlines (Lion Air) tersebut diamankan ke Gudang Balai Teknologi Keselamatan Pelayaran (BTKP) Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.
”Kami gunakan untuk proses investigasi lebih lanjut,” ujar Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono.
Sementara tim juga masih melakukan penyisiran. Sejak kemarin pagi hingga petang, Tim KNKt yang berada di Kapal Baruna Jaya I telah melakukan penyisiran di Perairan Tanjung Karawang. Tim menggunakan ping locator untuk menemukan sinyal dari black box pesawat
”Hingga hari ini (kemarin, red) KNKT masih menerima tawaran bantuan dan dukungan dari negara sahabat, seperti Arab Saudi dan Australia,” bebernya.
Di sisi lain, Direktorat Jenderal Perhubungan Udara sedang lakukan pemeriksaaan khusus kelaikudaraan pesawat jenis Boeing 737 Max 8. ”Saya minta Direktur Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara segera menugaskan inspektur kelaikudaraan dan pengoperasian pesawat udara (airworthiness inspector dan flight operation inspector, red) untuk melakukan pemeriksaan khusus terhadap seluruh pesawat Boeing 737-8 MAX yang digunakan maskapai nasional,” ujar Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perhubungan Udara M. Pramintohadi Sukarno kemarin.
Saat ini terdapat 11 unit pesawat jenis Boeing 737-8 MAX yang dioperasikan dua maskapai nasional. Satu unit dioperasikan oleh maskapai Garuda Indonesia dan 10 unit dioperasikan oleh Lion Air. Pemeriksaan yang dilakukan mencakup hal-hal seperti indikasi masalah yang sering terjadi, pelaksanaan troubleshooting, kesesuaian antara prosedur, dan implementasi pelaksanaan aspek kelaikudaraan. Selain itu juga kelengkapan peralatan (equipment) untuk melakukan troubleshooting pada pesawat Boeing 737 – 8 MAX.
Pemeriksaan tersebut disampaikan kepada kedua maskapai melalui surat Direktur Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara Nomor 1063/DKPPU/STD/X/2018 tanggal 29 Oktober 2018.
”Hasil pemeriksaan khusus yang telah dilakukan sejak Senin 29 Oktober yang lalu semua pesawat yang diperiksa dinyatakan laik terbang,” ujarnya.
Dia menambahkan bahwa inspeksi rutin terhadap pesawat dilaksanakan sesuai dengan jadwal. Tim juga menilai komponen yang terpasang semuanya tidak ada yang melewati batas umur pakai.
”Tidak ditemukan gangguan teknis pada airspeed dan altimeter system selama 3 bulan terakhir serta semua waktu penundaan waktu perbaikan gangguan teknis pada pesawat udara (deferred maintenance items) masih dalam batasan waktu yang ditentukan sesuai prosedur Minimum Equipment List (MEL),” ujar Pramintohadi.
BPJS Temukan Kejanggalan
Data Gaji Pilot
Upaya BPJS Ketenagakerjaan membantu memberikan hak korban kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 menemukan fakta baru. Ditemukan kejanggalan jumlah gaji pilot yang hanya Rp3,7 juta. Jauh lebih kecil dari gaji co pilot yang tercatat di BPJS Ketenagakerjaan yang mencapai Rp20 juta. Dari 189 korban kecelakaan baru ditemukan 31 peserta BPJS Ketenagakerjaan.
Dirut BPJS Ketenagakerjaan Agus Susanto menuturkan, data gaji pilot yang jauh lebih kecil dari co pilot itu begitu mencolok. Namun, BPJS telah mengecek kebenarannya, hasilnya memang Lion Air melaporkan gaji pilot hanya Rp3,7 juta.
”Jumlah gaji itu berdasarkan laporan perusahaan,” jelasnya.
Dengan begitu, keluarga pilot akan dirugikan. Sebab, bila seharusnya gajinya Rp30 juta, kalau dilaporkan hanya Rp3,7 juta maka bantuan kecelakaan kerjanya hanya 48 x Rp3,7 juta.
”Bukan 48 x Rp 30 juta,” ujarnya.
Kejanggalan ini, lanjutnya, kemungkinan telah ditegur oleh BPJS Ketenagakerjaan dan Lion Air sedang memperbaiki laporannya. Namun, saat kecelakaan terjadi masih tercatat Rp3, 7 juta.
”Tapi ada solusi mencegah kejadian yang sama terjadi,” tuturnya.
Pekerja, lanjutnya, bisa melaporkan jumlah gaji yang sebenarnya ke BPJS Ketenagakerjaan sehingga, nanti BPJS Ketenagakerjaan bisa melakukan pengecekan ulang dan memperbaiki data jumlah gaji. ”Ini bisa membantu kami. Agar pekerja juga tidak dirugikan,” ujarnya.
Terkait korban yang terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan, dia menjelaskan bahwa hingga saat ini ada 31 korban yang baru teridentifikasi sebagai peserta BPJS.
”Kami perlu bantuan agar bisa memastikan berapa jumlah pastinya. Kalau 31 ini dari laporan keluarga di posko,” urainya.
Menurutnya, penumpang Lion Air yang menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan berhak untuk mendapatkan sejumlah hak. Yakni, jaminan kecelakaan kerja 48 x gaji, tunjangan hari tua sebesar 5,7 persen dari upah yang dilaporkan dan tunjangan pensiun berupa 40 persen untuk yang telah terdaftar lebih dari 15 tahun.
”Maka kami harap dibantu untuk bisa mengetahui berpaa jumlah peserta BPJS Ketenagakerjaan yang menjadi korban,” paparnya.
Namun begitu, perlu dipahami bahwa peserta BPJS ketenagakerjaan hanya akan mendapatkan jaminan kecelakaan kerja bila diketahui menjadi korban dalam rangka bekerja.
”Seperti salah satu korban dari BPJS Pangkal Pinang yang berangkat kerja namun, menjadi korban,” jelasnya.
Perlindungan ketenagakerjaan dihitung sejak berangkat bekerja hingga pulang bekerja. Dia mengatakan, semua itu akan dianalisa oleh BPJS Ketenagakerjaan.
”Kami pastikan itu,” paparnya ditemui di RS Polri Kramat Jati kemarin.(idr/far/lyn/jpg)