Misalnya guru-guru di Desa Pangkalan Kapas, Kampar Kiri, Kabupaten Kampar. Begitu juga dengan desa-desa di sekitarnya seperti Desa Lubuk Bigau dan lainnya. Di sana tidak ada signal telepon. Kalau pun ada hanya ada di satu titik saja. Tentu saja tidak ada signal untuk internet. Tapi mereka juga harus mengikuti UKG dan pelatihan-pelatihan sesuai program pendidikan yang dilaksanakan pemerintah.
Daerah pedalaman dengan signal sekalipun tidak serta merta membuat guru di sana sama dengan guru di daerah perkotaan. Apalagi jenjang pendidikan yang dimiliki guru di sana jauh lebih rendah dibandingkan di kota. Di daerah pedalaman, banyak guru yang tidak tamat S1. Lebih banyak pula yang tamat SMA. Kalau pun di sekolah itu ada yang tamat S1, hanya beberapa saja. Begitu juga dengan guru PNS. Waktu mereka juga habis untuk mengajar dan perjalanan pulang pergi karena lokasi yang jauh.
Misalnya saja Nurul (30). Guru SD Negeri 21 Dusun Bandar Jaya, Kecamatan Siak Kecil, Kabupaten Bengkalis ini tinggal jauh dari sekolah itu. Meski satu desa dan hanya beda dusun, tapi perjalanan ke sekolah cukup jauh. Harus melewati sungai dan hutan. Jalan setapak juga sulit dilewati terlebih saat musim hujan. Begitu juga dengan guru-guru lainnya. Bahkan ada yang tinggal di Sungai Pakning dengan jarak tempuh menuju sekolah lebih dari dua jam dengan sepedamotor.
Nurul dan rekan-rekannya dituntut harus datang setiap hari ke sekolah dengan jarak tempuh yang jauh. Hal yang sangat menggugah hati mereka adalah kondidi anak-anak jika sekolah diliburkan. Mereka akan ketinggalan mata pelajaran. Apalagi skeolah mereka tidak cukup enam kelas. Bahkan anak-anak kelas VI harus belajar di ruang pustaka. Mirisnya lagi, kantor guru pun berada di luar kelas. Hanya meja dan kursi kayu yang diletakkan di luar kelas. Itulah kantor mereka.
Dari sisi kesejahteraan, Nurul dan rekan-rekannya sangat jauh dari sejahtera. Untuk gaji saja sangat mini. Hanya Rp300 ribu per bulan. Benar mereka guru honor dan mengajar dengan hati gembira. Padahal, gaji itu belum termasuk biaya perahu menyeberang sungai sebesar Rp70 ribu per bulan.
‘’Kami gembira bisa mengajar. Jauh memang. Kadang kalau hujan sangat sulit untuk sampai ke sekolah. Jalan buruk. Pernah motor tertimbun lumpur dan akhirnya saya dengan rekan saya Bu Ani, tidak jadi sampai ke sekolah. Semangat saya mengajar, lebih semangat lagi anak-anak untuk sekolah. Kalau tidak datang, rasanya saya sangat bersalah dengan anak-anak. Kalau gaji jangan ditanyalah Bu. Sedikit. Guru dituntut harus sabar dengan segala hal, tapi tidak bisa menuntut lebih. Tapi yang terpenting anak-anak bisa sekolah,’’ aku Nurul.
Hal serupa juga dialami Eti Astuti (27). Guru sekolah Pendidikan Layanan Khusus (PLK) di Desa Nerlang, Kecamatan Tebingtinggi Timur, Kabupaten Kepalauan Meranti. Jarak dari sekolah ke rumah Astuti sekitar 30 menit dengan menggunakan kapal. Sekali berangkat, Astuti dan rekan-rekannya harus membayar ongkos Rp80 ribu atau Rp160 ribu pulang pergi (PP). Padahal, Astuti hanya guru sukarela. Tidak digaji dan harus bayar ongkos sendiri. Meski sekolahnya hanya seminggu sekali.
‘’Kasihan anak-anak di Nerlang. Mereka suku pedalaman. Semangat belajar sedang tinggi. Meski sekolah hanya seminggu sekali, tapi sangat berarti bagi mereka. Ya, saya dan guru yang lain ikhlas mengajar di sana. Sukarela meski tidak digaji sama sekali,’’ kata Astuti.
Astuti baru dua tahun mengajar di Nerlang. Dia dan guru lainnya belum tahu tentang sertifikasi, UKG atau pelatihan-pelatihan lainnya. Karena selain mengajar di Nerlang juga mengajar di Sekolah Luar Biasa (SLB) Sungai Tohor, beberapa temannya pernah mengikuti pelatihan yang dilaksanakan Dinas Pendidikan di Pekanbaru.
‘’Kami baru dua tahun mengajar. Jadi belum pernah ikut sertifikasi atau UKG. Bleum pernah dapat informasi tentang itu dari dinas atau lainnya. Yang penting saat ini anak-anak bisa sekolah dulu. Beriring waktu, nanti akan sampai juga ke sana. Saya ingat lagi untuk guru Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Itu sajalah yang jadi pegangan kami. Semoga kami benar-benar bisa jadi pelita di kala gelap dan embun penyejuk di kala kehausan,’’ kata Astuti.
Bukan Jaminan Mutu Pendidikan Guru
Pendidikan tidak bisa lepas dari peran guru yang disebut sebagai ujung tombak pendidikan nasional. Peran guru sangat besar melahirkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkulitas untuk membangun negeri. Selain sebagai standarisasi mutu guru, UKG juga disebut sebagai peningkatan kesejahteraan guru dengan tunjangan sertifikasinya. Namun, kondisi tersebut membuat penilaian sendiri bagi masyarakat yakni, guru yang tidak lulus UKG adalah guru yang belum berkualitas. Terkait hal tersebut, Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Provinsi Riau, Syahril MPd, menyatakan ketidaksetujuanya jika UKG menjadi patokan ‘sebutan’ guru tidak berkulitas.
‘’Saya kurang sependapat jika UKG itu mewakili kualitas guru. Pasalnya, bisa saja mereka sehari-hari mampu membuktikan diri dengan kualitas pendidikan siswanya dan berhasil, tapi gagal pada saat UKG. Jadi alat ukur UKG tersebut tidak bisa disamakan dengan kualitas guru yang tidak lulus,’’ terang mantan Kepala SMKN 2 Pekanbaru tersebut.
Dijelaskannya, UKG tersebut memang program yang baik dari pusat guna menjaga mutu pendidikan. Pendekatan penggunaan IT juga dinilai tepat, yakini kedepannya IT adalah salah satu alat yang paling dominan digunakan. Meski begitu, harus juga disadari banyak para guru di Indonesia ini berada di generasi yang berbeda. Jika para guru yang tercipta pada masa millenium ini adalah generasi yang sudah biasa dengan teknologi, ada juga guru yang sudah tua yang tidak biasa dengan IT tersebut. Dia juga menyadari, hal tersebut tidak bisa menjadi asalan untuk guru yang gagal dalam UKG. Hanya saja, masyarakat dan pemerintah harus melihat sisi pengabdian para guru yang justru memiliki peran penting menciptakan generasi saat ini yang sudah hapal dengan IT.
‘’Guru lama seperti kami ini memang tidak terbiasa. Tapi kami juga sadar harus berpacu untuk menguasai IT. Diharapkan itu juga membuka mata semua, karena jelas kecepatan menerima IT di usia yang sudah tidak muda lagi menurun. Tapi bukan bearti kualitas guru yang tidak menguasai IT itu lemah. Semua itu sudah jelas tercatat setiap pelaksaan Ujian Nasional (UN),’’ jelasnya lagi.