PEKANBARU (RIAUPOS.CO) -- Prospek Kemitraan Konservasi di Indonesia sangat besar. Selain dapat menjadi solusi konkrit atas dilema pengelolaan kawasan konservasi selama ini, Kemitraan Konservasi sekaligus juga menjawab tantangan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat di sekitar kawasan konservasi.
Hal tersebut disampaikan Direktur Program LATIN, Arif Aliadi usai merampungkan kajian di 6 Taman Nasional (TN) di Indonesia. Menurutnya, pengelolaan Kawasan Konservasi kedepan mesti mengarus-utamakan keterlibatan masyarakat di sekitar kawasan.
“Peraturan Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya (KSDAE) nomor 6 tahun 2018 memberi ruang luas keterlibatan masyarakat,” kata Arif, Senin (22/7).
Setidaknya, lanjut dia, pihak TN sudah mempersiapkan langkah penerapan Kemitraan Konservasi. Arif memebrikan contoh 14 desa yang telah diidentifikasi Di TN Sebangau di Kalimantan Tengah. Di TN Meru Betiri Jawa Timur, lanjutnya, sudah ada penerapan 3 model Kemitraan Konservasi bersama masyarakat, dari 10 desa yang berbatasan langsung dengan TN.
“Di TN Kelimutu, ada 4 Perjanjian kerjasama yang sudah ditandatangani. Ada 64 izin Objek dengan Tujuan Wisata Alam (ODTWA) di TN Gunung Ciremai,” jelasnya.
Menurut Arif, peluang Kemitraan Konservasi juga penuh dengan tantangan. Misalnya berkaitan dengan keinginan masyarakat agar wilayah adat dikeluarkan dari kawasan TN.
Selain itu, pemahaman menganai aturan ini juga perlu dilihat secara menyeluruh. Karena dikhawatirkan akan membuka pikiran pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk membuka lahan garapan baru di dalam kawasan konservasi.
“Di wilayah yang kami kaji, masih banyak pembalak dan pemburu liar. Kemitraan Konservasi bukan ditujukan untuk melegalkan perilaku terlarang itu,” tandas Arif.
Risiko lain, pengelolaan kawasan wisata alam dikuasai pemilik modal saja. Sehingga, masyarakat hanya terlibat sebagai pekerja. Hal ini penting menjadi pertimbangan lebih dalam bagi pemberi izin.
Kajian LATIN ini didukung oleh program Build Indonesia to Take Care of Nature for Sustainability atau Bangun Indonesia untuk Jaga Alam demi Keberlanjutan BIJAK) yang didanai United States for International Development (USAID). LATIN juga mencatat temuan untuk melibatkan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Pelaksanaannya dilapangan perlu mendapat dukungan fasilitasi dan melihat kembali zonasi peruntukan kawasan di tiap TN.
“Di beberapa TN, justru tidak memiliki zona pemanfaatan tradisional. Sementara banyak masyarakat yang bergantung hidupnya dari TN,” ungkap Arif.
Selain itu, pengelola kawasan konservasi penting mensinergikan kegiatan yang telah ada dengan inisiatif Kemitraan Konservasi. Sebagai contoh di TN Halimun Salak sudah ada kegiatan Kampung Konservasi.
“Di Kampung Konservasi, masyarakat melalukan rehabilitasi hutan, sekaligus melakukan kegiatan ekonomi produktif seperti beternak kambing, wisata alam dan pertanian berkelanjutan,” paparnya.
Pelaksanaan Kemitraan Konservasi di lapangan mensyaratkan adanya kapasitas lembaga pengelola, termasuk masyarakat. Menurut Arif, tugas peningkatan kapasitas menjadi tugas bersama, termasuk Pemerintah Daerah. Karena itu, penting pula mengoordinasikan Kemitraan Konservasi dengan Pemerintah Daerah.
Sebagai contoh, Arif menyebut TN Kelimutu di Nusa Tenggara Timur sedang melakukan koordinasi pengelolaan wisata alam dengan Pemda setempat. Ada pula TN Meru Betiri yang berencana meggaet Pemda Jember untuk kegiatan rehabilitasi lahan dan wisata ala,.
“Temuan ini sudah kami koordinasikan dengan Dirjen KSDAE dan mendapat tanggaan positif,” ungkap Arif.
Sementara itu, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), Wiratno menyebut pengelolaan kawasan konservasi kedepan memang harus melibatkan masyarakat, menghormati HAM dan mengedepankan kegiatan yang bersifat kolaborasi.
“Dukungan publik untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari masyarakat sejahtera dalam kawasan konservasi dapat diwujudkan melalui sumbangan pemikiran yang disampaikan kepada kami,” tandas Wiratno.(rls)
Editor: Eko Faizin