JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Indonesia akan menghadapi perubahan cuaca ekstrim akibat perubahan iklim dunia. Kondisi ini bisa menimbulkan bencana alam yang lebih besar dibanding sebelumnya.
Laporan Organisasi Meteorologi Dunia yang mengatakan panas bumi terus meningkat juga berimbas untuk Indonesia. BKMG mencatat pada 2019 merupakan tahun terpanas kedua setelah 2016 di Indonesia.
Deputi Bidang Klimatologi, Herizal, dengan peningkatan 0,84 derajat Celsius di atas rata-rata iklim 1981–2000, emisi gas rumah kaca (GRK) terukur di Stasiun GAW BMKG Kototabang terus meningkat mencapai 408,2 ppm.
"Meskipun masih relatif lebih rendah dari GRK global, jumlah kejadian bencana hidrometeorologi terus bertambah mencapai 3.362 kejadian,” ungkap Herizal dalam keterangan yang diterima pada Rabu (15/7/2020).
Di sisi lain, perubahan iklim di Indonesia menunjukkan peningkatan suhu rata-rata yang signifikan di Jakarta.
”Yaitu 1,6 derajat Celsius dari 1866 hingga 2012. Laju peningkatan ini cukup dapat dibandingkan dengan hasil analisis Organisasi Meteorologi Dunia, yaitu kenaikan suhu global sebesar 1,1 derajat Celsius terhadap zaman pra-industri (1850–1900) sebagai garis dasar periode acuan perubahan iklim global,” terang Hirizal.
Perubahan tersebut, menurut dia, memicu dampak pada lingkungan. Seperti perubahan pola hujan dan peningkatan cuaca ekstrem. Di Indonesia, perubahan pola hujan ditandai peningkatan hujan di daerah di utara khatulistiwa. Hal itu menyebabkan iklim cenderung makin basah.
Sementara di selatan khatulistiwa cenderung kering. Namun di banyak tempat ditemukan bukti bahwa hujan dalam kategori ekstrem terus meningkat kejadiannya.
Di Jakarta, data 130 tahun menunjukkan, frekuensi hujan ekstrem meningkat. Sekitar 10 persen intensitas hujan tertinggi di Jakarta (di atas 100 mm per hari) telah meningkat 14 persen akibat penambahan suhu per 1 derajat Celcius.
”Tren cuaca ekstrem juga meningkat, ditandai dengan peningkatan frekuensi dan skala bencana hidrometeorologi,” tutur Herizal.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Hary B Koriun