BALI (RIAUPOS.CO) - Pencemaran plastik di laut merupakan masalah yang kompleks dan tidak mengenal batas wilayah atau negara. Permasalahan datang tidak semata- mata langsung dari laut, namun lebih jauh ke hulu, seperti bagaimana industri memproduksi dan mendistribusikan produk plastik, hingga yang terpenting adalah bagaimana konsumen atau masyarakat menangani sampah yang dihasilkan. Hal tersebut merupakan rantai panjang dari daur nilai plastik (life cycle).
Melihat permasalahan sampah laut yang sedang terjadi saat ini di pantai-pantai bagian selatan pulau Bali, Yok Yok Ayok Daur Ulang! (disingkat YYADU!) yang merupakan program advokasi dan edukasi daur ulang plastik terus berupaya untuk menghadirkan solusi dan meningkatkan kesadaran penanganan serta pengelolaan sampah melalui kolaborasi penta helix yang melibatkan beberapa pihak, yakni pemerintah, masyarakat dan komunitas, akademisi, industri, dan juga publikasi/media.
Melalui seminar “Yok Yok Ayok Daur Ulang: Kelola Sampah Laut untuk Wujudkan Pariwisata Berkelanjutan” Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Salahuddin Uno menyampaikan bahwa menurut Sustainable Travel Report, 83 persen wisatawan menganggap perjalanan berkelanjutan itu penting dan 62 persen wisata global lebih memilih destinasi dan akomodasi yang bersertifikasi ramah lingkungan. Kemenparekraf mencoba menyikapi adanya perubahan tren global pariwisata dengan mengembangkan destinasi wisata menjadi smart- green destination.
“Adanya ketimpangan antara sosial-budaya serta ekonomi dan lingkungan menjadi PR (pekerjaan rumah), di mana salah satunya adalah pengelolaan sampah responsible atau bertanggungjawab. Untuk mewujudkan aksi nyata tersebut, perlu dilengkapi melalui proses komunikasi, informasi, edukasi, dan sosialisasi,” ujar Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia, Sandiaga Uno.
Wakil Gubernur Bali, Prof. Tjokorda Oka Artha atau yang akrab disapa Cok Oka dalam kesempatan yang sama juga menyampaikan bahwa sektor pariwisata di Bali saat ini sedang dalam pemulihan. Masa transisi kembalinya wisatawan ke Bali ini harus diimbangi dengan kesiapan destinasi wisata dari aspek-aspek seperti salah satunya kebersihan.
“Merawat lingkungan sudah menjadi kewajiban masyarakat Bali sejak dulu untuk menjaga kearifan Bali. Namun, seiring terjadinya transformasi mata pencaharian, terjadi kevakuman tanggung jawab. Kewajiban ini perlu diingat dan diimplementasikan kembali di masa sekarang,” jelas Wakil Gubernur Provinsi Bali Prof Tjokorda Oka Artha.
Lingkungan termasuk pantai memiliki banyak fungsi bagi masyarakat Bali yang sebagian besarnya dikelilingi oleh pantai, mulai dari fungsi budaya, konservasi, transportasi, dan lain- lain.
Namun, persoalan-persoalan terkait pencemaran sampah tidak dapat dihindari, mulai dari sampah kayu pada musim-musim tertentu, limbah cair, bahkan limbah minyak di daerah- daerah pelabuhan.
“Menanggapi hal tersebut, kami sudah berusaha dari hulu ke hilir memperhatikan masalah lingkungan, dari gunung, danau, sungai, mata air hingga ke pantai dan laut, karena berbicara lingkungan itu sifatnya multi-sektor. Berdasarkan kebijakan Gubernur terkait pengelolaan sampah berbasis sumber, kami terus berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat terkait implementasinya,” kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Bali, I Made Teja.
Bergabungnya pihak pemerintahan melalui Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Bali, masyarakat dan komunitas melalui Bali Waste Cycle, Bali Tourism Board, dan Greeneration Foundation, publikasi media melalui Jaringan Jurnalis Peduli Sampah, serta industri melalui PT Trinseo Materials Indonesia dalam program advokasi dan edukasi YYADU! diharapkan dapat menghadirkan solusi penanganan sampah, khususnya di Bali.
Editor: Eka G Putra