Sagu berperan besar memenuhi kebutuhan pokok yang sehat dan dalam memperkuat ketahanan pangan di wilayah Provinsi Riau. Keberadaannya memiliki andil besar pula pada ketahanan pangan nasional.
RIAUPOS.CO - Sagu merupakan salah satu basis kearifan lokal di Indonesia. Sagu ada jauh sebelum negara ini ada. Hingga keberadaannya masih menjadi satu di diantara sumber karbohidrat terbaik bagi manusia.
Potensi ini berjalan seiring dengan bertambahnya jenis makanan olahan dengan berbahan dasar sagu. Mulai dari makanan berat, ringan bahkan makanan cepat saji. Sehingga potensinya kerap digaungkan dapat mengatasi krisis pangan nasional. Apalagi dampak perang Rusia ke Ukraina membuat stok gandum kian menipis dan mulai terganti oleh sagu.
Harapan tersebut tampaknya benar benar sejalan dengan besarnya potensi tanaman sagu di Indonesia. Perkiraan luasnya sekitar 1.128 juta hektar atau setengah dari luas areal lahannya di dunia.
Dari jumlah tersebut, 63.491 hektar diantatanya berada di Provinsi Riau, diimbangi dengan produksi tepung sagu setara 219.215 ton per-tahun. Di Bumi Bertuah itu pula, Kepulauan Meranti menjadi satu-satunya kabupaten yang memiliki potensi terbesar dan varietas terbaik di Indonesia yang ditandai sertifikat Indikasi Geografis (IG).
Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kepulauan Meranti, luas areal sagu di wilayahnya mencapai 61.806 hektare yang terbagi atas 21.620 hektare di bawah pengelolaan perusahaan dan perkebunan sagu rakyat seluas 40.186 hektare dengan jumlah produksi 247.014 juta ton pertahun.
Tak ayal, tepung sagu asal Meranti menjadi primadona pengusaha Cirebon, bahkan tepung yang berkualitas nomor wahid itu diekspor hingga ke Jepang, Malaysia, Korea, dan Singapura.
Potensi dan sejumlah penghargaan menjadi silabus bagi pengusaha kecil hingga raksasa berbondong-bondong menancapkan kukunya di bisnis pengolahan batangan rumbia ini. Tak tanggung-tanggung puluhan pabrik sagu tersebut mampu memproduksi tepung sagu hingga ratusan ribu ton per tahunnya.
Ratusan, bahkan mungkin ribuan masyarakat Kabupaten Kepulauan Meranti menggantungkan ekonominya di sektor industri sagu ini. Namun, di balik penghargaan yang gemilang dan geliat industri sagu yang mendunia, di sisi lain fenomena ini juga menyimpan sejumlah persoalan. Terutama limbah yang dihasilkan.
Saat Riau Pos menelusuri satu di antara puluhan pabrik sagu di Kepulauan Meranti, tepatnya di Desa Tenan, Kecamatan Tebingtinggi Barat, sejumlah buruh tampak sibuk mengimbangi kecepatan mesin pabrik penggilingan sagu milik Edy. Pabrik berukuran sekitar 80 meter persegi ini mempekerjakan 15 warga setempat untuk mengolah ratusan batang sagu menjadi pati yang kemudian tepung.
Sebelum dimasukkan dalam mesin penggilingan, batang sagu atau yang disebut oleh masyarakat dengan tual ini dikupas secara manual menggunakan alat sejenis linggis untuk memisahkan kulit dengan dagingnya. Batang sagu yang telah dikupas kulitnya diparut mengunakan mesin pemarut.
Edy menuturkan, jika pasokan bahan baku tidak mengalami kendala, pabriknya bisa memarut ratusan hingga ribuan tual sagu per harinya. Namun, dari ribuan tual sagu tersebut, hanya menghasilkan ratusan bahkan puluhan kilogram tepung saja. Sementara ampas hasil parutan tual sagu hanya menumpuk menjadi limbah, bahkan menjadi sumber pencemaran lingkungan sekitar pabrik.
“Mau diapakan lagi? Memang beberapa masyarakat sering mengambil repu di pabrik saya, katanya untuk pakan ternak. Tapi tidak banyak, hanya beberapa karung saja,” tutur Edy sedikit mengeraskan suaranya seakan berusaha mengalahkan suara mesin yang menderu.
Seraya memberikan sedikit informasi terkait proses pengolahan sagu, Edy mengajak Riau Pos ke tempat pembuangan repu yang terletak di belakang pabrik. Raungan mesin pabrik turut mengiringi Riau Pos melangkah menuju pembuangan repu yang dimaksud Edy. Riau Pos harus melewati beberapa parit khusus yang terbuat dari beton, sepertinya parit-parit tersebut digunakan untuk mengalirkan air sisa pengendapan pati sagu.
“Kami membuang repunya di sini. Siapa saja yang mau ambil repu-repu ini silahkan, saya tidak larang. Bahkan saya senang kalau ada yang mengambil repu-repu ini, berarti membantu saya mengurangi limbah,” tutur Edy yang mengaku kewalahan dengan volume limbah pabriknya yang kian hari kian menggunung.
Saat perjalanan juga, tampak ratusan tual sagu terendam di anak sungai samping pabrik. Menurut Edy, pabrik sagu umumnya berada di sekitar aliran sungai. Hal ini akan mempermudah proses pengangkutan tual sagu dan penyediaan air untuk proses produksi pati sagu.
Sekilas air sungai yang mengarah ke laut tersebut tampak tercemar dan sedikit berbuih. Sementara bagian tepian sungai tarlihat menghitam seperti lumpur dengan aroma tidak sedap dari anak sungai.
“Sebagian repu memang hanyut ke sungai saat hujan atau terbawa arus saat laut pasang,” ujar Edy.
Ia tidak menampik jika limbah yang mengalir ke sungai akan berakibat rusaknya ekosistem air dan menimbulkan bau yang tidak sedap. Namun Edy juga mengaku kewalahan jika ia harus membangun penampungan untuk limbah cair dan limbah padat tersebut.
“Jujur saja, kami tidak sanggup untuk menampung limbah sebanyak ini. Dalam sehari saja kami bisa mengolah hampir seribu tual sagu. Memang banyak masyarakat yang datang untuk mengambil repu untuk pakan ternak. Namun limbah yang kami produksi sangat banyak, sementara repu yang diambil para peternak tidak sebanyak yang kami hasilkan,” bebernya.
Tergiur dengan Tawaran Petinggi Unand
Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti H Muhammad Adil SHM MM tergiur dengan tawaran Universitas Andalas (Unand), Padang, Sumatera Barat. Jajaran universitas tertua di luar Jawa itu menawarkan diri mengurai masalah repu agar dapat diolah menjadi “emas” atau produk yang tepat guna.
Rencana itu muncul mengingat tingginya tingkat kerusakan lingkungan di Kepuluan Meranti dampak repu atau limbah sagu. Setidaknya dari 78 kilang sagu yang tersebar, dominan pengusaha masih bandel, hingga membuang limbahnya ke sungai.
Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti H Muhammad Adil melakukan diskusi ringan bersama para petinggi Unand, akhir tahun lalu (11/8/2022). Menurut Adil jika satu unit pabrik sagu rata-rata menghasilkan satu ton repu per harinya, bayangkan seberapa besar dampak pencemaran lingkungan yang dihasilkan oleh puluhan pabrik lainnya. “Ketika ditutup maka akan berdampak luas terhadap ekonomi masyarakat. Jadi kita harus cari solusinya,” ungkapnya.
Menanggapi itu, Dekan Fakultas Pertanian Unand Dr Ir Indra Dwipa MS menyampaikan beberapa tawaran kerjasama terkait penelitian, khususnya pengelolaan limbah yang dihasilkan dari industri sagu di Meranti.
“Disertasi S3 saya meneliti limbah sagu untuk diolah menjadi bioetanol sebagai salah satu alternatif pengganti bahan bakar untuk kendaraan. Dan itu berhasil,” kata Indra.
Menurutnya, jika kondisi itu tidak segera dicarikan solusi maka akan mengancam kelestarian lingkungan. Bahkan, dengan mengubah limbah sagu menjadi bioetanol akan mampu memberikan dampak positif dari sisi ekonomi.
“Kami tim dari Unand siap membantu Pemkab Meranti. Kami bisa memanfaatkan program matching fund Kedaireka dari pemerintah pusat. Dengan ini pemkab akan sangat terbantu jika berhasil didapatkan,” kata Dekan Fakultas Pertanian Universitas Andalas tersebut.
Direktur Kerja Sama dan Hilirisasi Unand, Dr Muhammad Makky, menambahkan, Kedaireka merupakan platform program kolaborasi antara perguruan tinggi dengan dunia usaha dan dunia industri. Di dalamnya termasuk pemerintah daerah. Menurut Makky, program tersebut sebagai upaya meningkatkan kemandirian dalam menghasilkan inovasi yang bisa menyelesaikan permasalahan di tengah masyarakat, daerah dan bangsa.
“Kami dari tim siap membantu menyiapkan proposal dalam rangka matching fund. Ini dibiayai kementerian, kita melakukan riset bekerja sama dengan pemerintah daerah,” kata Makky.
Muhammad Adil mengaku tertarik dengan tawaran riset dari para akademisi Unand tersebut. Terutama dalam pengelolaan limbah sagu menjadi produk yang bernilai ekonomis, baik dalam bentuk bioetanol, pakan ternak, maupun hasil rekacipta lainnya.
“Sebagaimana kita ketahui, limbah sagu di Meranti sangat mengkhawatirkan,” sebut Adil.
Dia memerintahkan Bappedalitbang Kepulauan Meranti untuk segera berkordinasi dengan satuan kerja terkait untuk menindaklanjuti tawaran riset dari Unand ini. Hal itu juga, kata Adil, sejalan dengan amanah pemerintah pusat yang selalu disampaikan lewat Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) maupun Asosiasi Pemerintah Daerah Kepulauan dan Pesisir Seluruh Indonesia (Aspeksindo).
“Bukan hanya limbah sagu, tapi jajaki juga potensi kerja sama yang lain. Baik itu peternakan, pertanian ataupun pengembangan sumber daya manusia. Manfaatkan program ini semaksimal mungkin,” tegasnya.
Sebagaimana diketahui, program matching fund Kedaireka yang diluncurkan tahun 2021 itu merupakan mandat dari Presiden Joko Widodo dalam rangka penguatan ekonomi nasional pasca-pandemi Covi-19.
Tahun 2022 ini, melalui Kedaireka atau Kerja Sama Dunia Usaha dan Kreasi Reka pemerintah menggelontorkan anggaran hingga dua triliun rupiah yang dikelola oleh Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi.(gus)
Laporan WIRA SAPUTRA, Selatpanjang