Dengan membandingkan jumlah hotspot baseline tahun 2015, berdasarkan Satelit Terra/Aqua (NASA), jumlah hotspot sebanyak 70.971 titik. Artinya perbandingan hotspot 2015 dan 2020 per Juni, terdapat penurunan jumlah sebanyak 70.101 titik atau 98,77 %.
''Ternyata angkanya beda jauh, karena satelit itu memang menangkap citra dengan polos. Kalau dari confident level 0 % jadi rujukan buat publis ke publik, jelas kurang tepat. Karena atap seng rumah orang juga sering ditangkap satelit sebagai hotspot. Jadi hotspot itu belum tentu ada kebakaran (firespot, red),'' kata Afni.
Dia juga menjelaskan, harusnya yang jadi rujukan informasi ke publik itu hotspot pada confident level 80 % ke atas. Itu pun masih harus dilakukan groundcheck ke lapangan guna memastikan benarkah itu hotspot dari kebakaran atau bukan. Harusnya, kata Afni, yang seperti ini publik diedukasi, bukan terus diberikan data yang kurang tepat. "
Informasi yang kurang tepat akan melahirkan persepsi atau bahkan rekomendasi yang juga tidak tepat," jelas mentan Pemimpin Redaksi Harian Pekanbaru Pos tersebut.
Keseluruhan hotspot dengan confident level 80% juga telah langsung dilakukan groundchek dan intervensi pemadaman oleh tim satgas di lapangan. Semua data-data ini juga bisa diakses secara terbuka melalui website: sipongi.menlhk.go.id.
Kesalahan persepsi berikutnya, kata Afni, adalah menganggap KLHK satu-satunya lembaga penegak hukum, kesalahan persepsi mengenai penetapan status dini kesiagaan, termasuk kesalahan persepsi memahami keragaman status hutan di Indonesia. Hal ini menjadi penting karena ada bermacam-macam hutan dengan pemegang mandat administratif berbeda-beda.
''Mandat pengawasannya ada di lintas kementerian, pemda atau pun swasta. Sementara titik api tidak mengenal batasan administratif begini. Andai tidak terjadi kesalahan persepsi, maka rekomendasi untuk evaluasi dan strategi menghindari kebakaran berulang juga bisa dilakukan dengan tepat oleh para pemangku kepentingan,'' kata Afni.
Dosen Universitas Lancang Kuning Riau ini mengatakan, masih banyak kesalahan persepsi lain yang ditemukannya di ruang publik terkait karhutla. Untuk itu diperlukan peran aktif semua pihak memberikan edukasi dan informasi dengan tepat.
''Informasi yang jujur dan tepat sangat dibutuhkan masyarakat. Juga sangat penting untuk dasar pengambilan kebijakan. Pemerintah, swasta, LSM, pers, dan lainnya harus mau mengambil peran memberi edukasi informasi yang apa adanya, bukan ada apanya,'' jelas Afni mengakhiri.
Editor: Hary B Koriun