“Untuk meningkatkan produktivitas rawa terutama untuk kegiatan perikanan yang sudah dilakukan orang. Diantaranya membuat tata air yang baik, membuat pematang dengan penguat, dan beberapa cara lainnya,” urainya.
Hanya saja, dengan cara tersebut belum optimal hasilnya. Karena ada dampak yang dihasilkan yakni buruknya kualitas air sehingga terkesan kurang bersahabat dengan lingkungan.
“Makanya kita memanfaatkan teknologi bioflok yang telah dilakukan selama sebulan untuk meningkatkan kualitas air rawa,” tegasnya sambil memaparkan sistem kerja bioflok tersebut.
Pria yang sudah beberapa tahun mendalami bioflok ini menambahkan, bioflok yang mengandung bakteri pengurai diperlukan untuk mendegradasi bahan organik menjadi anorganik. Selanjutnya bahan organik maupun anorganik akan dimanfaatkan oleh sebagian bakteri untuk perkembangannya.
Sementara itu komponen penyusunan bioflok terdiri dari bahan organik yang berasal dari sisa pakan, kotoran ikan dan plankton yang akan diurai oleh bakteri menjadi mineral yang bermanfaat bagi fitoplanktor. Selain itu, jenis algae yang diharapkan tumbuh pada tekhnologi ini adalah dari kelompok diatom dan algae hijau.
Lebih jauh ia menerangkan, pemberian karbohidrat dalam media pemeliharaan akan meningkatkan jumlah bakteri dan bioflok dapat dikonsumsi oleh biota yang dibudidayakan. ‘’Sehingga biota tersebut memperoleh protein tambahan dari bioflok disamping pakan yang diberikan. Inilah sisi positif yang dapat digali dan dikembangkan,’’ paparnya.
Pihak Balitbang Riau juga telah menerapkan teknologi pembaruan tersebut pada budidaya ikan lele. Bahkan, progresnya memperlihatkan hasil positif dengan tidak merusak lingkungan.
“Saat ini, teknologi terebut kita gunakan pada budidaya ikan lele yang juga merupakan ikan tawar di 18 bak yang menjadi median kita. Insyallah hasilnya berjalan seperti yang diharapkan,’’ katanya lagi.