JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Bahaya droplet atau percikan air liur dan dahak seorang pasien virus corona sangat potensial menularkan pada orang ke orang saat pekan pertama. Seseorang yang baru mengalami gejala justru bisa menularkan virus itu dengan cepat seperti diungkap dalam sebuah studi di Hongkong.
Para peneliti mendasarkan penilaian mereka pada sampel air liur dari 23 pasien yang dikonfirmasi dengan COVID-19 di dua rumah sakit di kota itu. Hasilnya menunjukkan bahwa viral load pada pasien yang berusia antara 35 dan 75 bisa jadi penular tertinggi selama tujuh hari pertama. Dan justru ‘keganasan’ virusnya menurun secara bertahap setelah sepekan menurut makalah, yang diterbitkan dalam jurnal medis The Lancet pada hari Senin (22/3).
“Viral load yang tinggi dalam minggu pertama penyakit menunjukkan bahwa virus dapat ditularkan dari satu orang ke orang lain dengan mudah sebelum pasien dirawat di rumah sakit,” kata Profesor Rekanan Klinis di Departemen Mikrobiologi Universitas Hong Kong dan salah satu penulis makalah ini, Kelvin To Kai-wang, seperti dilansir dari South China Morning Post, Kamis (26/3).
Virus yang telah menginfeksi lebih dari 400 ribu orang di seluruh dunia dan membunuh 16.000, cenderung dialami pasien yang lebih tua dan bisa tinggal di dalam tubuh selama hampir sebulan.
Dalam satu kasus, virus terdeteksi 25 hari setelah pasien menunjukkan gejala.
“Sepertiga dari pasien kami memiliki viral load selama 20 hari atau lebih,” kata To.
Dia menambahkan bahwa pasien mungkin harus tinggal di bangsal isolasi lebih lama. Pasien di China tetap tinggal di pusat isolasi selama 14 hari setelah pulang dari rumah sakit, dan kemudian 14 hari di rumah. Di Hongkong, pasien yang dipulangkan tetap dipantau staf medis untuk melihat kemajuan pemulihan mereka.
To mengatakan, pelepasan virus yang berkepanjangan tidak berarti pasien terinfeksi untuk waktu yang lama karena tes mereka hanya mendeteksi keberadaan genom virus dan bukan virus hidup. Tetapi dari sudut pandang pengendalian infeksi, kita perlu berasumsi bahwa siapa pun dengan asam nukleat virus yang terdeteksi adalah infeksius (dan mengisolasi pasien cukup lama untuk mengurangi risiko) itu penting.
Para peneliti juga menyarankan bahwa mungkin lebih aman bagi pasien itu sendiri untuk mengumpulkan sampel air liur daripada meminta petugas medis untuk melakukan swab tenggorokan dan hidung standar. Pengumpulan spesimen swab nasofaring atau tenggorokan dapat menyebabkan batuk dan bersin dan bisa berbahaya bagi petugas medis.
“Karena saat swab diambil, pasien bisa bersin dan batuk. Dan akan menghasilkan aerosol dan merupakan bahaya kesehatan potensial bagi petugas kesehatan,” kata studi tersebut.
Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman