Subsidi Peserta Kelas III BPJS Kesehatan Bisa tanpa Memberatkan APBN

Kesehatan | Minggu, 10 November 2019 - 15:53 WIB

Subsidi Peserta Kelas III BPJS Kesehatan Bisa tanpa Memberatkan APBN

JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Rencana Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto memberikan subsidi bagi peserta BPJS Kesehatan kelas III mandiri akan dibahas pada rapat lintas kementerian pekan ini. Salah satu yang menjadi sorotan, usulan tersebut dikhawatirkan akan membebani APBN.

Dalam pandangan ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara, subsidi untuk peserta BPJS Kesehatan kelas III mandiri bisa dilakukan tanpa memberatkan APBN. Salah satunya, mengalihkan cukai rokok untuk menambal defisit.


Apalagi, jumlah Rp 3,9 triliun terbilang kecil jika dibandingkan dengan keseluruhan pendapatan negara.

”Karena itu nggak sampai 5 persen dari total pendapatan negara, nggak terlalu signifikan. Nggak memberatkan APBN sebenarnya,” kata dia kepada Jawa Pos kemarin.

Namun, lanjut dia, akan lebih baik jika realokasi subsidi itu diambil dari pos lain. Pemerintah diimbau bisa menempuh kebijakan pengenaan sin tax atau pajak dosa.

Sin tax sebenarnya merupakan perluasan dari cukai. Selama ini, Indonesia baru mengenakan cukai pada tiga produk, yakni alkohol, etil alkohol, dan rokok. Padahal, di negara-negara ASEAN lainnya, cukai sudah diterapkan pada 10 hingga 15 barang. ”Itu bisa jadi potensi penerimaan yang digunakan untuk mengganti defisit BPJS dalam jangka panjang tanpa harus membebani APBN atau masyarakat sebagai pembayar iuran,’’ ulasnya.

Bhima memerinci beberapa barang yang potensial dikenai cukai. Antara lain, kendaraan bermotor, minuman berpemanis, makanan tinggi kandungan garam, dan permen. ”Ini maksudnya adalah barang-barang yang berpotensi mengganggu kesehatan dan menjadi beban BPJS. Ini bisa dikenakan,’’ katanya.

Nanti earmarking atau uang dari pungutan cukai itu dikumpulkan oleh pemerintah dan fokus digunakan untuk menambal defisit BPJS Kesehatan. Apabila barang-barang tersebut dikenai cukai, tentu akan berdampak pada tekanan inflasi.

Namun, hal itu masih bisa diantisipasi, bergantung besaran cukai yang dikenakan. Bhima mengimbau hal tersebut bisa dipikirkan lagi sebagai salah satu solusi untuk persoalan defisit BPJS Kesehatan. ”Selain itu, perbaikan data tentang berapa banyak yang menunggak iuran BPJS dilakukan. Reformasi itu perlu. Selain itu, kue penerimaan harus diperbesar tanpa harus membebani APBN,” tutur dia.

Secara terpisah, Menko PMK Muhadjir Effendy mengaku sudah mengagendakan pertemuan tingkat menteri untuk membahas masalah subsidi BPJS Kesehatan tersebut. Rencananya, pertemuan dilakukan pekan ini. ”Segera. Pak deputi sudah saya instruksikan untuk undang (menteri terkait, Red),” ujarnya.

Dalam rapat tersebut juga akan dibahas cleansing (pembersihan) data peserta seperti komitmen pemerintah kepada DPR sebelumnya. Ada 6 juta penerima bantuan iuran (PBI) yang identitasnya tidak dikenali. Jumlah itu akan dikeluarkan dan diganti dengan angka yang sama. ”Nanti kami ganti dengan yang teridentifikasi dengan baik,” ucapnya.

Kemudian, jika mereka belum punya NIK, pemerintah akan meminta daerah memastikan bahwa yang bersangkutan adalah penduduknya. ”Dan harus dibuktikan dengan NIK,” kata Muhadjir.

Mantan menteri pendidikan dan kebudayaan itu menegaskan, cleansing data tersebut penting. Tujuannya, memastikan penggunaan dana pemerintah untuk PBI tepat sasaran. ”Kalau datanya abal-abal, berarti kan kita bisa meragukan kalau itu tepat sasaran atau tidak,” tuturnya.

Saat ini cleansing data dari BPJS Kesehatan telah rampung. Data selanjutnya akan dikoordinasikan dengan Kementerian Sosial. ”Karena yang punya basis data,” kata mantan rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) tersebut.

Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengamini pernyataan Muhadjir. Menurut dia, dari 27 juta data PBI bermasalah hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada awal tahun, seluruhnya telah diselesaikan. Hasilnya sudah disampaikan BPJS kepada menteri kesehatan. ”Menkes sudah menyampaikan ke Mensos. Itu akan ada rapat tiga menteri,” ungkapnya.

Sementara itu, pengamat kesehatan dari BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan, seharusnya peserta bukan penerima upah (PBPU) yang merupakan golongan miskin dan tidak mampu dimasukkan kelompok penerima bantuan iuran (PBI). Sayang, golongan itu terbatas hanya 96 juta orang. Jika pemerintah betul-betul ingin memasukkan PBPU miskin ke PBI, Timboel menyarankan agar cleansing data PBI APBN dilakukan dengan cermat. ”Nah, kalau mau bantu orang miskin di PBPU, lakukan cleansing data PBI APBN dengan segera dan objektif, yaitu benar-benar orang miskin,” ucapnya kemarin.

Masalahnya ada pada data kependudukan yang tidak sesuai. Misalnya, nomor induk kependudukan (NIK) yang tidak valid, penduduk yang sudah meninggal, dan lain sebagainya. Cleansing data tersebut bertujuan mengetahui jumlah pasti peserta BPJS, baik yang aktif maupun tidak.

Solusi kedua yang diberikan Timboel adalah efektivitas jaminan sosial. Selama ini ada pemda yang juga memberikan jaminan kesehatan. Misalnya, DKI Jakarta yang memiliki kartu Jakarta sehat (KJS ).

Di DKI Jakarta, kata dia, PBI APBN diberikan untuk 1,2 juta warga yang miskin. Nah, itu bisa lebih efektif jika 1,2 juta PBI APBN tersebut dapat dijamin melalui KJS. Dengan demikian, kuota 1,2 juta PBI APBN bisa dialokasikan untuk provinsi lain yang benar-benar membutuhkan.

Langkah ketiga yang ditawarkan Timboel adalah pemerintah pusat menambah kuota PBI APBN dan pemerintah daerah tambah kuota PBI APBD. Harapannya, orang miskin bisa ditampung di dua pos tersebut. ”Orang yang tidak mampu bayar tidak lagi di PBPU,” ujarnya. Timboel menambahkan, bila hal itu dilakukan, peserta mandiri –baik kelas I, II, maupun III– benar-benar dihuni orang mampu yang harus membayar iuran.

Sumber: Jawapos.com

Editor: E Sulaiman









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook