JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Covid-19 tak hanya menyerang pernapasan atau organ paru-paru, tapi juga bisa merusak otak. Para peneliti dari Institut Kesehatan Nasional Amerika Serikat (NIH) telah berulang kali melihat tanda-tanda gangguan pada sampel jaringan pada jenazah pasien Covid-19 dalam analisis komprehensif tentang bagaimana Covid-19 memengaruhi otak pasien.
Pembuluh darah otak yang menipis dan bocor memicu kerusakan pada sampel jaringan ini. Namun, dalam sampel jaringan, para peneliti tidak melihat jejak SARS-CoV-2.
"Artinya, kerusakan tidak dipicu oleh serangan virus langsung ke otak," kata NIH dalam rilis penelitian.
Pengamatan tersebut dilaporkan dalam sebuah surat di New England Journal of Medicine. Direktur klinis di National Institute of Neurological Disorders and Stroke (NINDS) dari NIH, Avindra Nath, mengutip penulis senior laporan tersebut yang mengatakan bahwa otak pasien yang tertular infeksi SARS-CoV-2 dapat rentan terhadap kerusakan pembuluh darah mikrovaskuler.
"Pengamatan kami menunjukkan bahwa ini bisa terjadi akibat reaksi inflamasi tubuh terhadap virus," jelas peneliti seperti dilansir dari Science Times, Ahad (10/1).
Beberapa tes telah menunjukkan bahwa peradangan dan gangguan pembuluh darah dapat disebabkan oleh gangguan tersebut. Para peneliti menemukan bukti dalam salah satu eksperimen tentang konsentrasi kecil SARS-CoV-2 di otak pasien tertentu. Meskipun demikian, NIH menambahkan, para ahli juga berusaha menjelaskan bagaimana gangguan tersebut memengaruhi otak.
Apa saja faktornya?
Dalam laporan ini, para peneliti melakukan analisis mendalam terhadap sampel jaringan otak dari 19 pasien yang meninggal antara Maret hingga Juli 2020 setelah menjalani Covid-19. Pasien meninggal pada berbagai usia, antara usia 5 dan 73. Mereka meninggal setelah melaporkan gejala dalam beberapa jam hingga dua bulan. Beberapa pasien memiliki dua faktor penyebab penyakit bawaan atau komorbid, termasuk asma, obesitas, dan penyakit kardiovaskular. Ketika itu, tiga pasien langsung pingsan dan meninggal.
Para peneliti awalnya menggunakan pemindai MRI khusus bertenaga tinggi untuk menganalisis pengukuranbatang otak setiap pasien. Diasumsikan bahwa daerah-daerah ini sangat rentan terhadap Covid-19. Pernapasan dan detak jantung diatur oleh batang otak.
Pemindaian menunjukkan bahwa titik terang (disebut hiperintensitas) yang terkadang menandakan peradangan dan bintik hitam (disebut hipointensitas) yang menunjukkan perdarahan lazim terjadi di kedua area. Para peneliti kemudian menggunakan pindaian sebagai referensi untuk menyelidiki bintik-bintik di bawah mikroskop lebih dekat. Mereka memperhatikan bahwa titik terang berisi pembuluh darah yang lebih kecil dari biasanya, seringkali menumpahkan protein darah seperti fibrinogen ke otak.
Respons kekebalan tampaknya menyebabkan ini. Tempat itu ditutupi oleh sel T dari darah dan mikroglia, sel kekebalan otak itu sendiri. Sebagai perbandingan, ada pembuluh darah yang membeku dan bocor di bintik hitam, tetapi tidak ada reaksi kekebalan.
Para dokter mengkhawatirkan dampak radang otak pada kesehatan jangka panjang individu pasien Covid-19 yang berhasil sembuh. Pasien tertentu dilaporkan bisa mengalami sisa keluhan neurologis, seperti kelelahan terus-menerus dan Sindrom Guillain-Barré.
Para ahli masih terus akan meneliti di masa depan bagaimana Covid-19 membahayakan pembuluh darah otak dan mengapa hal ini menyebabkan efek jangka pendek dan jangka panjang pada pasien.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Rinaldi