PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Kata-kata obesitas akhir-akhir ini semakin sering terdengar. Betapa tidak, jika dilihat dari hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 jumlah orang gemuk di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. Bahkan data mencatat bahwa Indonesia berada pada peringkat 10 negara paling banyak masyarakatnya yang menderita kelebihan berat badan dan obesitas.
Menurut Dokter Spesialis Gizi Klinis Rumah Sakit Awal Bros Pekanbaru, dr Imelda Goretti MGizi SpGK, obesitas merupakan kondisi berlebihnya lemak tubuh sehingga terjadi kelebihan berat badan. Begitu tingginya angka penderita dan banyaknya komplikasi kesehatan yang ditimbulkan, membuat obesitas masuk ke dalam kategori penyakit.
Obesitas sebaiknya dihindari karena bisa membahayakan tubuh. Selain mengarah kepada penampilan, seseorang yang menderita obesitas memiliki risiko mudah terkena penyakit lainnya seperti diabetes tipe 2, darah tinggi, kolesterol, asam urat, osteoatritis atau peradangan sendi.
Obesitas juga bisa memicu terjadinya serangan jantung dan gangguan pernafasan. Tidak hanya itu obesitas bisa megakibatkan serangan stroke, gangguan kesuburan, hingga depresi.
“Pola makan yang tidak benar merupakan penyebab terjadinya obesitas. Apalagi di masa saat ini begitu banyak makanan yang mengandung tinggi lemak dan garam. Begitu pula makanan yang manis-manis dan berkarbohidrat tinggi. Ketika asupan kalori yang kita makan jauh lebih besar daripada yang keluar di situlah berpotensi terjadi obesitas,” kata Imelda.
Menurutnya, berdasarkan hasil riset kesehatan, Indonesia memang mengalami peningkatan prevalensi kelebihan berat badan dan obesitas hingga hampir 30 persen, tidak jauh berbeda dengan angka prevalansi dunia. Riau merupakan salah satu provinsi dengan angka penderita obesitas yang tinggi.
Dijelaskannya pula, untuk mengetahui seseorang menderita obesitas atau tidak sebaiknya dengan pemeriksaan komposisi tubuh. Pengukuran komposisi tubuh dapat dilakukan dengan menggunakan timbangan komposisi tubuh. Alat ini bekerja untuk menghitung kadar lemak tubuh, kandungan otot, tulang, kadar air hingga usia sel metabolik.
Namun ketika timbangan komposisi tubuh tidak ada, cara yang mendekati adalah melalui perhitungan indeks massa tubuh (IMT), di mana berat badan (dalam kilogram) dibagi dengan kuadrat tinggi badan dalam satuan meter. Hasil penghitungan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam kelompok. Jika indeksnya di bawah 18,5, artinya berat badan kurang, 18,5-22,9 berat badan ideal, 23-24,9 berat badan lebih (overweight), 25-29,9 obesitas derajat 1, di atas 30 masuk dalam kategori obesitas derajat 2.
Misalnya berat badan 70 kg, lalu tinggi badan 170 cm (1,70 meter). Maka indeks massa badan adalah 70/(1,7x1,7) = 24,22. Dari angka tersebut, masuk ke kategori berat badan berlebih (overweight).
Lebih jauh dijelaskannya, pengaturan pola makan yang sehat diperlukan bagi penderita obesitas. Sangat disarankan agar seseorang tidak sembarangan melakukan diet karena salah justru bisa mendatangkan kerugian bagi tubuh.
“Tidak jarang seseorang karena mau mengurangi berat badan dia melakukan diet yang salah. Contohnya tidak makan saat jam makan (skipping meal), tidak mengonsumsi jenis makanan tertentu padahal asupan itu diperlukan oleh tubuhnya sehingga malah menimbulkan masalah baru,” kata Imelda.
Pemeriksaan obesitas, kata Imelda, tidak selalu baru dilakukan ketika seseorang menderita penyakit karena obesitas. Ibarat pepatah yang mengatakan mencegah lebih baik daripada mengobati maka pemeriksaan kesehatan bisa saja dilakukan untuk mengetahui apakah seseorang mengalami obesitas atau tidak dan melakukan terapi sebelum penyakit lain bermunculan.
Untuk penanganan penderita, biasanya dilakukan treatment dan edukasi dalam penyusunan pola makanan dan asupan kalorinya. Tetapi dalam kondisi tertentu ada juga pasien yang diberikan obat.
“Dalam hal treatment memang semuanya akhirnya berpulang dari pasien apakah mau memenuhi penyusunan pola makan yang diberikan atau tidak. Tapi biasanya karena mau sembuh pasien patuh,” katanya.
Ada kalanya diet yang salah mengakibatkan terjadi apa yang dinamakan sebagai sindrom yoyo, ibarat bermain yoyo yang naik dan turun. Seseorang yang memutuskan diet ketat dengan cara mengurangi asupan makanan secara drastis bisa saja tidak lama kemudian justru berat badannya naik lagi. “Kalau sudah begitu, biasanya berat badannya akan sulit turun lagi,” katanya.